Lorong panjang yang begitu asing membentang di hadapan Shally. Ia mengedarkan pandangannya. Di sisi kanan dan kiri lorong berjejer pintu yang berjarak satu meter dengan pintu lainnya. Shally sama sekali tidak mengenali tempat berpijaknya saat ini. Shally hanya mengingat sebelumnya dia berada di sebuah tempat yang sangat gelap dan pengap.
Di mana ini?
Shally melangkahkan kakinya menuju sebuah pintu yang entah mengapa menarik perhatiannya. Kali ini Shally berdiri di hadapan sebuah pintu bewarna keperakkan. Shally meletakkan tangannya pada handle pintu tersebut. Sesaat dia ragu. Ia penasaran dengan apa yang ada di balik pintu berwarna keperakan tersebut, tetapi bersamaan dengan rasa penasarannya, Shally juga merasa takut.
Biar bagaimana pun aku harus mencobanya.
Shally menutup matanya lalu membukanya kembali. Dengan perlahan Shally menghembuskan napasnya dan dengan perlahan juga dia memutar handle pintu tersebut. Jantungnya berdegup tidak karuan saat perlahan pintu mulai terbuka.
Shally mematung dengan pandangan yang disuguhkan kala pintu terbuka dengan sempurna. Tangannya gemetar. Kenangan yang sebelumnya hilang kini terlihat jelas di hadapannya. Napas Shally turun naik tak beraturan. Ingin rasanya ia berlari menghampiri apa yang saat ini ada di hadapannya. Ingin rasanya ia memeluk lelaki dan perempuan yang sudah lama ini dia rindukan. Akan tetapi, kakinya seolah merekat pada lantai tempatnya berpijak.
Di depan sana, Shally melihat seorang lelaki dan wanita yang mengenakan pakaian serba putih sedang duduk di atas rumput. Angin yang berhembus lembut sedikit menerbangkan rambut panjang wanita itu yang tergerai. Tak jauh dari mereka ada sepasang kelinci yang berkejaran.
Usia mereka sepertinya ada di pertengahan 40. Wajah wanita yang ada di sana seperti replika wajah Shally, tapi dalam versi yang lebih dewasa. Tak hanya wanita itu yang mirip dengan Shally, warna mata lelaki yang ada di sana juga senada dengan warna mata Shally.
"Mommy, Daddy," lirih Shally.
Di sudut ke dua mata Shally telah berkumpul buliran bening yang siap terjatuh. Rasa rindu yang membuatnya sesak selama delapan tahun ini menyeruak ke permukaan. Shally terus memandangi dua orang yang ada di hadapannya saat ini.
"Mommy, Daddy!" teriak Shally.
Orang yang dipanggil mommy dan daddy oleh Shally menoleh. Saat melihat Shally, sebuah senyuman merekah menghiasi bibir mereka. Sementara itu, melihat senyuman kedua orang tuanya, Shally segera berlari ke arah mereka. Ia menghamburkan dirinya ke pelukan mommynya.
Shally merasakan usapan lembut di puncak kepalanya, usapan yang dia rindukan. Ia menangis terisak, benar-benar tidak ingin kehilangan saat-saat bersama kedua orangtuanya.
"Izinkan aku bersama kalian," isak Shally seraya menatap manik mata mommynya.
Shabrina -Mommy Shally- tersenyum mendengar permintaan anaknya. Lalu Willy -Daddy Shally- menggenggam kedua tangan Shally lembut. Shally menatap Willy, berharap akan mengiyakan permintaannya.
"Bukannya kami tidak ingin bersamamu, tetapi belum saatnya kita berkumpul. Masih banyak yang harus kau lakukan, Shall," ucap Willy tepat menatap Shally di manik matanya. Tangan Willy masih menggenggam tangan Shally erat namun lembut.
"Akan ada saatnya kita berkumpul. Tapi, bukan sekarang. Teman-temanmu masih membutuhkanmu. Perbaikilah apa yang telah retak, lindungilah mereka semua."
Shally menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, dia tidak ingin berpisah dengan mommy dan daddynya lagi. Shally sangat merindukan mereka.
"Tolong jangan tinggalkan aku lagi. Aku tidak ingin berpisah dengan kalian," isak Shally seraya berusaha membendung air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vonis Kematian
Mystery / ThrillerSosok berjubah hitam yang seperti dewa kematian datang di kehidupan Nel dan teman-temannya. Dia memerangkap mereka dalam teror kematian dan membuat mereka kembali mengingat dosa yang mereka lalukan di masa lalu. Sebenarnya dosa apa yang mereka lakuk...