Di sebuah koridor yang sepi seorang lelaki berlari dengan tergesa. Deru napasnya tak terkendali, seolah baru saja melakukan marathon. Pikiran lelaki itu kalut. Bermacam hal negatif sudah mendominasi pikirannya. Dia takut apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan.
"Tuhan, biarkanlah semua firasatku itu salah," gumamnya penuh harap di sela larinya.
Lelaki itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang gemetar. Keringat dingin kini telah memenuhi pelipis dan dahinya. Sejuta pertanyaan "Bagaimana jika?" mengiang di benaknya.
Bryan kini telah sampai di depan sebuah pintu tempat yang ditujunya. Dengan segera dia membuka pintu tersebut. Kini Bryan dapat melihat seorang perempuan terbaring di sana dengan selang infus yang menempel di punggung tangannya. Terdengar bunyi alat pendeteksi jantung yang berbunyi konsisten.
Tubuhnya sudah tidak gemetar dan napasnya sudah sedikit terkendali, namun, Bryan masih belum bisa bernapas lega. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Tetapi Bryan tak mendapati kehadiran orang lain selain dirinya dan perempuan yang terbaring tadi. Ya, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di sana. Saat Bryan melihat lantai, tepat di dekat tempat Shally terbaring, dia melihat sebuah jaket yang sangat dia kenali. Itu milik Nel.
"Berarti benar dugaanku. Sebelumnya Nel memang berada di sini," lirihnya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar Bryan meraih jaket itu. Bryan lalu mengambil ponselnya dan menghubungi Rauna. Namun saat menempelkan ponselnya di daun telinga, Bryan mendengar dering ponsel yang sangat dia kenali. Dia menjauhkan ponselnya dari telinga lalu melihat ke arah nakas. Dan benar saja, di sana ada ponsel dengan tulisan Bryan Calling menghiasi layarnya. Artinya itu ponsel Rauna. Bryan berhenti men-dial dan mengambil ponsel Rauna.
"Aku tidak akan memaafkanmu, jika sesuatu yang buruk menimpa Rauna," Bryan menggenggam ponsel Rauna erat.
Bryan beralih ke arah Shally, menatap lekat gadis yang sudah lama dia kagumi, lebih tepatnya dia cintai meski dalam diam. Pandangannya kini melunak. Tidak ada gurat-gurat amarah yang sebelumnya menghiasi wajahnya.
"Akan aku pastikan semua mimpi buruk ini berakhir saat kau bangun nanti. Aku akan memastikan kita akan kembali seperti dulu lagi."
Bryan mengusap kepala Shally lembut. Bibirnya berusaha menyunggingkan sebuah senyuman.
"Kau tidak usah khawatir, saat kau bangun nanti semuanya akan baik-baik saja dan kau tidak perlu merasa takut." Bryan mencium kening Shally lama.
Bryan lalu meninggalkan ruang inap Shally. Dia men-dial salah satu kontak yang ada di ponselnya.
"Evan," ujarnya saat panggilan telah tersambung.
****
"Bagaimana bisa kau beranggapan bahwa orang itu adalah, Nel? Kau gila Bryan? Nel, dia itu sahabat kita. Bagaimana mungkin dia melakukan hal sekejam itu?" teriak Evan sembari menggebrak meja di depannya.
Evan tak mengerti dengan jalan pikiran Bryan. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa Nel dalang di balik kematian Neora dan Stephanny. Bagaimana bisa dia menuduh sahabatnya sendiri sebagai pembunuh?
Bryan melihat sekelilingnya. Dan benar saja saat ini mereka menjadi pusat perhatian. Pandangan seisi cafe kini tertuju pada mereka. Ya, memang pelanggan di Café tersebut tidaklah terlalu ramai, mungkin karena sekarang masih pukul dua dini hari. Ah, tapi tetap saja Bryan paling benci jika harus menjadi pusat perhatian.
"Bisakah kau memelankan suaramu? Kita jadi pusat perhatian sekarang," ujar Bryan.
Evan melihat sekeliling dan benar apa kata Bryan mereka jadi pusat perhatian. Setelah menunduk pada pengunjung yang lain sebagai tanda minta maaf, Evan kembali duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vonis Kematian
Mystery / ThrillerSosok berjubah hitam yang seperti dewa kematian datang di kehidupan Nel dan teman-temannya. Dia memerangkap mereka dalam teror kematian dan membuat mereka kembali mengingat dosa yang mereka lalukan di masa lalu. Sebenarnya dosa apa yang mereka lakuk...