5. Terpaksa

19 3 0
                                    

Walau Cassie sudah sedikit senang karena Bryan akhirnya menoleh ke arahnya, tapi mendengar nada suara Bryan yang begitu ketus, membuatnya menciut.

Cassie tersenyum kecut, "Kamu nggak mau nemenin aku jalan?" tanyanya mencoba membuat Bryan bisa lebih berbaik hati lagi kepadanya.

Bryan menghela napas berat, lalu bergumam dengan kesal. "Ok fine. Gue udah cukup sabar sama semua ini. So, mau lo apalagi sih sebenarnya?"

"I am so sorry. I just..."

Cassie mencoba menjawab, tapi entah mengapa ia tidak tahu harus bilang apa lagi. Semua kosa katanya menghilang karena sikap Bryan yang begitu membuatnya sangat kecewa sekaligus sakit.

"What? Gue udah mau ketemu sama lo walaupun gue nggak pernah mau, sebenarnya. Tapi, lo selalu minta lebih dari ini. Lo tau sendiri kan, ini cuma terpaksa!"

Bryan sedikit meninggikan suaranya menjelaskan rasanya selama ini. Sejak awal dari rencana pertunangannya dengan Cassie. Orang yang tidak pernah disukainya sama sekali. Kedua orang tuanya malah menjodohkannya dengan alasan yang tak tidak masuk akal. Alasannya hanya soal sebuah bisnis keluarga. Bisnis keluarga yang menyebalkan.

Cassie sudah lelah dengan semua perlakuan yang didapatkan dari Bryan. Astaga.. bisa-bisanya ia dianggap seperti itu. Apakah ia begitu rendah?

"Ok, aku sekarang pulang."

Dengan kesal, Cassie berusaha untuk berdiri dan melangkah keluar dari ruang santai itu. Meninggalkan Bryan yang kini hanya duduk sendiri. Hanya ponselnya yang paling setia di tangannya.

***

Ciitt..

Suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal terdengar. Setelah beberapa saat kemudian dua insan berbeda jenis ini langsung menuruni mobil yang mereka tumpangi.

Alis Ellisa bertaut, "Ngapain kesini?" ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman luas itu.

"Menurut lo?" Karel berdecak lidah sebal. Tanpa menunggu lama lagi, Ia segera masuk ke sebuah tempat yang di luarnya jelas tertulis Café Vees.

'Memangnya buat apa kalau pergi ketempat seperti itu?!'

"Tungguin napa..." Dengus Ellisa sedikit berlari berusaha menyamai langkah kakinya dengan Karel yang sudah masuk duluan ke Café itu.

Setelah sampai di dalam Café, Karel dan Ellisa duduk disalah satu meja yang disediakan, tak lama setelah itu Karel memesan makanan untuk mereka berdua.

"Kenapa ngga dimakan?" Karel mulai membuka perbicaraan setelah hening beberapa menit.

Ellisa hanya memainkan sendok-garpu makanannya. Bukannya dijawab, Ellisa malah acuh tak acuh dengan pertanyaan Karel. Cewek itu hanya menatap kosong piringnya. Padahal isi piring itu masih utuh. Sebenarnya dari tadi, cewek itu sempat berpikir tentang Karel yang kadang bersikap baik ataupun justru sebaliknya kepadanya. Apalagi jika mengingat pacar Karel, Imaji.

Karel mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Ellisa "Hay..."

"Ee,, eh.. " Ellisa terkesiap.

"Ngelamun aja. Nanti kesambet baru tau rasa!" Karel menyumpahi.

"Yeeh, sok tau lo. Siapa bilang gue ngelamun, orang cuma diam doang!"

"Huuu.. Whatever."

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang memperhatikan gerak-gerik mereka berdua dari kejauhan. Sekarang ia benar-benar tidak bisa lagi menahan diri untuk bertindak sesegera mungkin. Tangannya panas tak terkendali.

"What? No no no. Nggak mungkin!" Herannya setengah tak percaya. "Ngga akan gue biarin!"

***

Byuurss....

Truly Madly DeeplyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang