6. Perih

23 1 0
                                    

"Siapa bilang gue nggak bisa masak. Cantik-cantik kayak gini pasti bisa dong..." walau bibir berkata bisa, tapi tidak dengan hati Ellisa yang terus memerintahkan dirinya untuk segera kabur dari rumah itu.

"Kalo gitu silahkan!" ujar Karel sambil menunjuk sebuah ruang di sudut rumahnya yaitu dapur. Tempat yang menurut Ellisa adalah sebuah bencana (lagi) untuk saat ini. Bahkan saat mata cewek itu mengikuti arah yang di tunjuk Karel, seakan ruangan itu terlihat menyeramkan yang siap menelannya hidup-hidup.

"Oke..." ucap Ellisa langsung melangkah menuju dapur itu.

Mati gue! Apa yang sebenarnya terjadi sama gue? Kenapa gue bisa-bisanya menyanggupi permintaan konyol dari Karel, tidak henti-hentinya Ellisa mengutuk dirinya sendiri.

Dapur.

Sebuah tempat yang sangat asing bagi dirinya. Lihat saja dirinya sekarang! Sudah gemetaran. Ia mengedaran pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Nama dari alat-alat masak di sini saja Ia tidak tahu. Apa jadinya.

Ia cukup lama berdiri mematung disana. Entah apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Bagaimana caranya untuk memasak? Masakan apa? Bagaimana? Dengan apa? Otaknya terus berputar. Berpikir keras. Ini sama saja dengan mengejakan soal ujian dadakan tanpa belajar terlebih dahulu. Susah.

Malu-maluin banget sih gue. Gimana caranya coba mau jadi pacarnya Bryan kalo gue aja nggak bisa masak. Masa gue bisa kalah sama Bryan yang jago masak. Cowok lagi.

"Heiii..."

Ellisa berbalik seketika ketika ada seseorang yang menegurnya. Hufth... itu membuatnya tersadar dari lamunannya. Dan sejujurnya Ia kaget.

Terlihat wanita setengah baya yang kini berdiri di depannya sambil tersenyum ramah. Pasti Mamanya Karel, pikir Ellisa.

"Eh? Kamu sedang apa di dapur ini?" tanya wanita itu.

"Aku mau masak, tante." Jawab Ellisa sopan. Sebenarnya Ia agak salah tingkah. Menjawab memasak? Memangnya Ia sudah tahu mau memasak apa.

"Memasak?" ucap Mama Karel mengulang kata kerja itu.

"Iya tante."

"Seharusnya kamu tidak perlu melakukan hal ini. Pasti Karel yah yang menyuruh kamu. Dia memang anak yang jail." Ellisa tersenyum. "Memangnya kamu mau masak apa?"

Ellisa tercengang. Ia membuka mulutnya seperti ingin berbicara tapi tidak bisa mengatakan apapun. Tenggorokannya tercekat.

"Nggak tahu tante." Ellisa segera menggeleng sambil tersenyum kikuk.

"Ya sudah kalo begitu. Tante bisa bantu kamu." Ucap Erti, Mama Karel.

"Beneran tante?!" senyum Ellisa mengembang. Wow! Sungguh keberuntungan yang baik. Sekalian Ia bisa belajar memasak juga.

Dimulailah proses memasak itu. Ellisa tidak tahu apa hasil masakannya nantinya bisa disebut hasil masakannya karena sebagian, hampir seluruhnya malah dikerjakan oleh Mamanya Karel. Ellisa memotong-motong bawang merah, tidak tahu mengapa tapi matanya terasa pedih sampai mengeluarkan air mata. Berulang kali Ia menggunakan punggung lengannya untuk mengelap matanya yang basah. Pedis...

"Mata kamu keperian yah?" Mama Karel tampak khawatir melihat Ellisa yang hanya mengangguk dan terus memotong bawang itu. Tidak ada yang tahu sekarang, bahwa air matanya sangat deras mengucur bukan hanya disebabkan dari bawang. Melainkan kepedihan hatinya saat ini. Sungguh.

Apakah sekarang Ellisa harus merasakan hal seperti ini? Sungguh malang nasib cewek itu. Anak manja yang selama ini di besarkan tanpa dibiarkan untuk melakukan hal-hal lain selain belajar. Dimanjakan seolah sebagai kurungan di rumah yang besar. Walau sering ditinggalkan juga oleh kedua orang tuanya yang sibuk bekerja.

Truly Madly DeeplyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang