Bab 3

6.5K 356 11
                                    

Ivy tak habis pikir kenapa orang percaya kalau hari ini adalah hari baik untuk pernikahan. Padahal informasi itu hanya muncul di secuil artikel di majalah Bride's Angel—satu-satunya jenis majalah yang ia baca saat menunggui ibunya selesai bekerja. Ivy sendiri dari awal curiga apakah hari ini memang hari baik atau hanya perpaduan manis antara akhir pekan dan sehari setelah gajian.

"Menurutmu kita akan sampai tepat waktu?" tanya Ivy sambil mengunyah permen gummy bear-nya. Ia menatap ke arah kemacetan tak berujung di hadapan mereka.

"Ini sudah kali keempatnya kamu bertanya. Kalo mau, jalan kaki sana," Annie, kakaknya, tambah jengkel mendengar pertanyaan Ivy. "Dan cepat telan permenmu sebelum membusuk di mulutmu!"

Ivy terus mengunyah permen itu sampai sehancur mungkin. Ia tak mau menjadi orang kedua di kota itu yang mati tersedak permen gummy bear (pemakaman gadis malang itu dimeriahkan balon beruang permohonan maaf raksasa dari si pembuat permen).

"Aku cuma mau bilang, kalau tidak sempat, kita melipir ke Starbucks saja. Kan masih bisa datang pas resepsi."

Ivy tahu kakaknya terlihat sedikit tergoda dengan tawarannya, kalau saja ibunya tidak berkata, "Mom ingin lihat gaun itu di altar. Kalian harus tahu betapa susahnya menjual gaun itu karena harganya yang sangat mahal."

Yah, itu artinya mereka harus tetap bersabar menembus kemacetan itu.

"Mom, kau benar-benar berpikir bisa menjual satu gaun lagi karena acara ini?" Annie menatap ibu mereka dengan takjub.

"Kenapa nggak? Jalan menuju altar itu adalah runway-nya, Amanda adalah modelnya. Dan Mom—" Ibunya mengeluarkan satu kotak akrilik dari dalam tasnya, "—sudah bawa kartu nama."

"Luar biasa," cibir Ivy. Jadi ini tujuan ibunya memaksa mereka untuk menghadiri pernikahan Amanda? Agar Ivy dan kakaknya bisa membantu mempromosikan dagangan ibunya?

Melihat orang-orang yang sedang asik main basket di lapangan pinggir jalan raya itu membuat Ivy iri. Seharusnya saat ini dia ada di lapangan basket dengan teman-temannya dan makan steak jumbo setelah itu, hanya untuk membuat cewek-cewek yang sedang diet melirik iri pada mereka.

"Kalau dia bisa beli gaun Cersei itu, berarti dia kaya raya sekali dong ya?" Annie melirik ibu mereka dengan penuh rasa penasaran.

"Iya, dia kaya sekali—"

Lalu gosip pun dimulai.

"Jadi dulu dia seorang model, menikah dengan pengusaha kaya raya. Kau tahu grup Reyes yang memegang setengah konstruksi real estate di kota ini?"

Annie memekik dan menutup seketika mulutnya dengan tangan kirinya saat mendengar nama itu. "Beneran?!"

Ibunya mengangguk sambil membenahi kalung mutiara di lehernya. Kalung itu yang membuat mereka terlambat berangkat lima belas menit. "Ruben Reyes meninggal dan dia mewarisi semua hartanya, termasuk perusahaan-perusahaannya."

"Beruntung sekali dia."

Dengus sinis terdengar dari kursi belakang. "Beruntung? Janda mana yang harus menghabiskan usia empat puluhannya dengan mengurusi belasan unit usahanya? Belum lagi usaha-usaha sampingannya."

Annie melirik Ivy dari kaca spion dengan mata memicing. "Bagaimana kau bisa tahu sedetail itu?"

"Baca."

Ivy bohong. Dia sempat mencoba mengorek informasi soal Devon Reyes di internet. Sampai sekarang Ivy masih kesal karena tahu restoran favoritnya adalah milik keluarga Reyes. "Ngomong-ngomong, pria seperti apa yang akan ia nikahi hari ini?" tanya Ivy mencoba membelokkan topik pembicaraan.

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang