Bab 7

5.6K 357 11
                                    

"Mom, aku ada pertandingan final besok. Aku mau pulang. Aku harus istirahat," Ivy memohon untuk kelima kalinya pada ibunya saat mereka terjebak jamuan makan malam undangan Amanda di sebuah restoran mewah. Ivy bohong, tentu saja. Dia tak butuh istirahat, ia hanya butuh untuk tidak bertemu ayahnya saja untuk menjaga moodnya besok.

Syukurlah Ivy melihat Amanda hanya muncul dengan Devon, tanpa ayahnya. Walaupun harus duduk berhadapan dengan Devon, tapi paling tidak Ivy sudah terbiasa dengan wajahnya yang menyebalkan.

"Kalau mau tambah daging, bilang saja," Devon menyindir Ivy sambil meletakkan potongan daging terakhir ke atas piring Ivy. Ivy melirik kesal pada cowok itu lalu pada kakaknya yang menyembunyikan tawanya di balik serbetnya. Bagaimana bisa cowok itu menyadari dirinya yang curi-curi pandang terhadap daging itu tadi? Dan kenapa cowok itu selalu melihatnya saat melakukan hal-hal bodoh?

"Ivy, kalau mau tambah, bilang saja," Amanda tersenyum padanya.

"Nggak. Makasih," jawab Ivy sambil menusuk keras sebuah potongan daging yang cukup besar untuk dimasukkan ke mulutnya sehingga pipi kanan Ivy melebar. Di seberangnya cowok itu mendengus lalu menyamarkan tawanya dengan suara batuk.

"Maaf ya, Ivy makannya banyak."

Ivy melemparkan tatapan 'bahkan-kau-juga-?' pada kakaknya yang sepertinya menikmati bagaimana Devon dari tadi mengerjainya. Yang lebih menyebalkan adalah sepuluh menit kemudian kakaknya ijin pamit karena ada jaga malam di rumah sakit. Ivy menatapnya terus saat memakai jaketnya, kali ini matanya membesar dan ia melemparkan tatapan 'tolong-bawa-aku-juga'. Sayangnya, kakaknya memilih untuk mengabaikan adik perempuannya itu.

"Malam ini aku tidak membawa serta Ryan, karena aku tahu kau masih nggak mau bertemu dengannya kan, Ivy?" Amanda memandang Ivy dengan tatapan keibuannya, namun Ivy hanya bisa menunduk. Ivy tahu reaksinya pada malam itu terlalu berlebihan.

"Di saat aku memutuskan untuk menikah dengannya, aku benar-benar nggak tahu masa lalunya dengan kalian. Aku tahu dia pernah menikah, tapi aku nggak pernah tahu dia meninggalkan kalian seperti itu. Saat aku tahu, aku marah. Marah sekali." Amanda bersandar di kursinya, menunduk menatap piringnya yang sudah kosong.

"Tapi aku juga sadar perasaanku padanya itu sungguh-sungguh. Aku tidak bermaksud untuk menggantikan siapapun atau merebutnya dari kalian. Aku tahu ikatan orang tua dan anak antaranya denganmu tidak bisa dihapuskan. Tapi aku juga tak ingin kau membenciku, Ivy. Maukah kau memaafkan kami?"

Ivy memutar-mutar wadah garam di atas meja itu sambil berpikir benarkah ikatan ayah-anak di antaranya dan ayahnya masih ada? Kalau iya, kenapa ia bisa membenci pria itu seperti itu? Kemudian ia melirik ibunya. Ibunya balas menatapnya lembut, seakan memberikannya kebebasan untuk menentukan sikapnya.

Ivy menghela napas lalu meletakkan wadah garam itu lagi kemudian memberanikan diri menatap Amanda dan Devon. "Kebencianku terhadapnya tidak ada hubungannya dengan perasaanmu dengannya. Itu dua hal yang sama sekali berbeda. Kamu nggak perlu ijin dari kami untuk mencintai pria manapun yang kau pilih."

Ivy bisa melihat senyum lebar di wajah wanita itu. "Jadi kau menerima pernikahan kami?"

Ivy mengangguk.

"Oh Ivy!"

"Tapi—Tapi aku masih membencinya—" ucap Ivy cepat-cepat saat wanita itu berjalan memutari meja itu hanya untuk memeluknya. Dari sela-sela pelukannya, ia bisa melihat Devon tersenyum samar, kemudian meminum isi gelasnya.

Ya, dia sudah cukup dewasa untuk bersikap. Dia juga seharusnya lebih bijak.

"Aku bangga padamu," bisik ibunya di telinganya saat ia berhasil melepaskan diri dari pelukan Amanda. "Kalau begitu, Devon dan Ivy, boleh kami minta waktunya untuk bicara berdua saja sebentar?"

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang