Ivy terbangun dengan kepala yang sangat berat. Hidupnya rasanya sempat berhenti saat ibunya pingsan kemarin. Semuanya terjadi terlalu cepat dan terlalu berat baginya untuk harus menelannya sekaligus. Ia masih bingung mana yang harus ia lakukan terlebih dahulu—memberikan standing applause untuk ayahnya karena kelicikannya berhasil menikahi salah satu janda terkaya di kota itu atau meminta maaf pada Devon karena telah membentaknya padahal cowok itu hanya mencoba peduli pada ibunya.
Eva, Sang In, Cecil, dan Keira mampu membuatnya melupakan semua drama itu paling tidak selama hampir enam jam mereka menjelajah setiap sudut mall di dekat sekolah mereka. Mulai dari mencoba semua tester make up, kacamata, makanan, hingga pakaian.
"Kau terlihat seperti balon kempes," Cecilia melontarkan komentar jujur dengan wajah datarnya yang seperti biasa pada Eva. Kalau orang lain mungkin akan langsung melemparkan b*tch slap padanya. Tapi karena mereka sudah terbiasa dengan sifat Cecil yang seperti itu, mereka pun hanya diam sambil menyetujui komentar Cecil dalam hati.
"Ivy, nggak mau coba sesuatu?" Sang In yang ternyata dari tadi memperhatikan Ivy yang diam terus di pojokan akhirnya bersuara. Dengan celana pullover pendek dan topi beanie-nya, siapapun bisa melihat kalau cewek keturunan Korea itu adalah yang paling muda di antara mereka. Dia pernah loncat kelas sampai 3 kali. Sebenarnya dia bisa loncat kelas lagi untuk yang keempat kalinya, tapi ia sangat nyaman dengan persahabatannya dengan Ivy dan yang lainnya saat ini sehingga ia mengurungkan niatnya.
Ivy menggeleng dan memaksakan tawanya pada Eva yang mencoba sebuah gaun tidur beludru merah dengan aksen bulu di tepiannya. "Cari pacar dulu baru beli yang seperti itu," sindiran Ivy membuat semua orang termasuk Eva sendiri tertawa.
"Mungkin nggak sih istrinya Santa pakai baju tidur ini?" tanya Sang In dengan polosnya. Masing-masing orang membayangkan dalam pikirannya lalu menggeleng cepat-cepat. Terlalu menjijikkan.
Tiba-tiba saja Keira sudah menjejalkan berbagai potong pakaian ke tangan Ivy. "Coba," perintah Keira saat melihat wajah bingung Ivy.
"Iya, iya." Ivy melangkah malas ke arah ruang ganti. "Tapi aku nggak akan beli semuanya ya. Ibuku bisa membunuhku—tapi setelah kakakku membiusku dan menjual ginjalku."
Omong kosong.
Ivy berakhir dengan empat tas belanja berisi semua baju-baju tadi. Cecil adalah penyebabnya. Mungkin karena Cecil selalu jujur dengan opininya, saat cewek itu bilang baju-baju tadi cocok dengannya, Ivy merasa harus membeli semuanya.
"Mom, maaf ya aku belanja lagi—"
Tubuh Ivy membeku saat melihat mereka semua sudah ada di meja makan rumahnya.
"Oh, kau habis belanja? Nanti kita harus belanja bareng ya," Amanda tersenyum padanya. Reaksi Ivy yang diam saja langsung meruntuhkan senyumannya. Devon meliriknya kemudian lanjut sibuk memotong-motong daging di atas piring di hadapannya. Di sebelah Devon, ada ayahnya memandangnya dengan tatapan yang paling Ivy benci—tatapan yang selalu dulu pria itu lemparkan saat ini berkata Ivy adalah anak kecil yang tak tahu apa-apa.
"Ivy sayang, taruh tas belanjaanmu dan bergabunglah di sini," ujar ibunya dengan senyum yang dipaksakan.
"Bergabung di jamuan konyol ini?"
Setelah menyindir seperti itu, Ivy berlari menaiki tangga dan mengunci pintu kamarnya. Ia duduk melipat lututnya di atas tempat tidurnya dan menunduk menyembunyikan wajahnya. Setelah sekian tahun ia mencoba mengubur semua kenangan buruk akibat kepergian ayahnya, kini kemunculan pria itu seperti menggali kenangan itu sampai ke dasarnya. Lebih baik pria itu tetap menghilang rasanya.
"Ivy?"
Ivy membisu saat mendengar suara kakaknya di balik pintu.
"Ivy, buka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Teen Fiction[TAMAT] You have one job, Ivy! SATU TUGAS: mengantar undangan pertandingan basket ke SMA Auguste! Entah bagaimana tugas yang terdengar sederhana itu berbuntut panjang. Lepas kendali sampai hampir mencekik Devon Reyes, si Ketua Klub Basket Auguste...