Bab 9

5K 355 9
                                    

Ivy menangis meraung dan melempar apa saja yang bisa ia gapai. Terbangun dengan rasa frustasi karena sadar timnya sudah kalah adalah hal terburuk setelah ayahnya meninggalkannya dulu. Timnya sudah sedekat itu dari kemenangan dan hanya gara-gara ia pingsan, semuanya kacau balau. Kalau saja ia menyadari apa yang akan dilakukan oleh Diana dan menghindarinya, semua ini tak akan terjadi.

Ivy berteriak lagi dan melempar gelas minumnya sampai hancur. Tapi saat ia hendak mengambil piring makannya untuk ia lempar juga, seseorang menahan tangannya.

"Berhenti merusak inventaris rumah sakit."

Devon sudah berdiri di sebelah ranjangnya mengenakan seragam sekolah Auguste dan mencengkeram pergelangan tangannya. Saat tangisan Ivy terdengar sedikit mereda, Devon mengendurkan cengkeramannya lalu mengambil piring itu dari tangan Ivy dan meletakkannya di atas meja.

"Kau puas sekarang? Kau puas aku kalah?" tanya Ivy sambil tertawa lirih.

"Nggak."

Ivy menoleh terkejut mendengar jawaban Devon. Biasanya cowok itu sangat bahagia melihatnya menderita.

"Aku nggak suka melihatmu kalah dengan cara seperti ini. Nggak seru."

Devon berjalan ke arah kaki ranjang Ivy. Dalam diam, ia terus memunguti pecahan gelas dari gelas yang Ivy lempar tadi lalu membuangnya ke tempat sampah. Cowok itu kemudian berjalan mendekati Ivy dan menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

"Atas nama pribadi dan atas nama klub basket Auguste, aku benar-benar minta maaf atas apa yang dilakukan Diana terhadapmu."

Ivy menatapnya sejenak, cowok itu balas menatap matanya, kelihatan bersungguh-sungguh dengan permintaan maafnya. "Lupakanlah," Ivy membuang muka. "Semuanya sudah terjadi. Allegia sudah kalah."

"Aku akan mengembalikan piala itu—"

"Jangan pernah lakukan hal itu."

Devon tampak terkejut dengan perkataan Ivy.

"Aku nggak mau menang atas belas kasihan kalian. Menjijikkan." Setelah mengatakan hal itu, air mata Ivy kembali berlinang. Rasa frustasi itu ternyata masih tersisa di dirinya.

"Kau sudah lihat ke sekelilingmu?"

Ivy mengikuti ucapan Devon, melihat ke sekelilingnya. Tidak ada apa-apa, hanya beberapa karangan bunga dan boneka dari teman-temannya. "Memangnya ada apa?"

"Bunga. Ada puluhan karangan bunga lagi menunggumu di rumah. Kakakmu meminta agar hanya bunga dari teman-teman dekatmu yang ada di sini agar tidak terlalu mengganggumu." Devon menunjukkan layar ponselnya dan ada foto kamarnya yang sekarang tampak seperti toko bunga. "Nggak hanya dari teman-temanmu, tapi semua pendukungmu saat pertandingan itu. Mereka semua ingin kau cepat sembuh dan kembali ke lapangan lagi."

Ivy menelan ludah dan menengadah menatap langit-langit kamar. Ia tak pernah menyangka banyak orang yang mengenal dan mendukungnya dari turnamen kecil itu. Seketika ia bisa merasakan rasa hangat di dadanya.

"Tak ada yang bertepuk tangan saat tim Auguste menerima trofi. Semua setuju kalau seharusnya kalianlah yang menang. Termasuk aku dan teman-temanku di tim putra."

Ivy menatap Devon tak percaya. Benarkah?

"Kami belum pernah melihat ada tim putri yang bermain sebaik kalian. Noah bahkan menyebut kalian sebagai tim monster. Andai kalian adalah tim putra, kami akan dengan senang hati bertanding melawan kalian di kejuaraan manapun."

Ivy merasa sedikit tersanjung. Tim putra Auguste adalah tim paling angkuh yang pernah ada. Kalau mereka sampai berkata seperti itu, berarti tim Ivy benar-benar mereka perhitungkan.

Cowok itu menarik tirai kamar rumah sakit itu dan membiarkan sinar matahari pagi menerobos masuk. "Kau tahu kenapa timmu kalah?" tanyanya saat kembali ke sisi tempat tidur Ivy.

"Karena mereka payah?"

Devon menggeleng.

"Bukan karena mereka payah tanpamu. Tapi karena separuh dari timmu memilih untuk meninggalkan pertandingan dan menemanimu ke rumah sakit dari pada melanjutkan pertandingan."

Ivy tak bisa membendung air matanya saat mendengar cerita Devon tadi. "Cewek-cewek bodoh," Ivy mengusap air matanya sambil tertawa membayangkan wajah para anggota timnya. Ivy sangat menyayangi timnya itu dan ia pasti akan melakukan hal yang sama apabila sesuatu terjadi pada salah satu dari mereka.

"Aku harus pergi. Aku nggak bisa lama-lama di sini."

Devon mengambil kunci mobil dari tasnya dan bersiap untuk pergi, tapi Ivy menahannya, "Tunggu."

Devon menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ivy.

Ivy terdiam sejenak, memikirkan apakah ia sebaiknya menanyakan hal yang membuatnya penasaran sejak ia sadar atau tidak. Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakannya juga.

"Apa kau yang menggendongku keluar lapangan saat aku tumbang?"

Devon mengerjap lalu menjawab, "Bukan."

Ivy menarik kepalanya, keningnya mengerut karena terkejut mendengar jawaban Devon. Lalu siapa laki-laki yang meraup tubuhnya saat itu?

* * *

"IVY!!!" teriak teman-temannya saat Ivy berjalan masuk ke kelas. Seperti semua orang yang ia lalui di lorong, mereka semua berebut untuk memeluknya.

"Aku merindukanmu!" teriak Sang In hampir menangis saat memeluknya.

"Kau nggak merindukanku, Sang In?" tanya Rio pada cewek itu. Pertanyaannya berhasil melayangkan buku bacaan Fisika Sang In yang setebal kitab suci ke kepalanya. Ivy bergidik membayangkan kalau buku itu terbang ke kepalanya tiba-tiba saat bertanding. Ia pasti langsung pingsan.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Eva dari kursi di depannya saat Ivy sudah duduk di kursinya yang seperti biasa.

"Baik. Sudah nggak sakit lagi. Tapi aku belum boleh sit up/push up dulu." Ivy memandang ke sekeliling kelas itu lalu berhenti saat pandangannya tiba di bagian belakang kelas. "Kursinya lebih?" Ivy menghitung ulang kursi di kelas itu. Ia yakin sekali kursinya lebih satu karena ia hafal jumlah keseluruhan kelas itu.

"Oh, kita ada murid baru," Eva terkikik.

Pasti cowok dan pasti ganteng, kalau Eva sampai terkikik seperti itu. Ivy menunggu-nunggu kehadiran si murid baru sampai satu menit sebelum pelajaran dimulai. Mungkin murid baru itu tidak masuk hari itu, pikirnya. Ivy sedang menunduk, merogoh tasnya untuk mengambil alat tulis saat ada suara familiar di dekatnya yang bertanya, "Oh, kau sudah masuk lagi?"

"KAU—"

Ivy mendelik ketika menyadari siapa pemilik suara itu. Devon sudah berdiri di samping mejanya mengenakan seragam Allegia dan menyunggingkan senyum mengejeknya yang menyebalkan seperti biasanya pada Ivy sebelum lanjut berjalan ke kursinya.

Yang benar saja?! Anak baru itu Devon?!

"Ya Tuhan..." Ivy memijat kepalanya sendiri. "Eva, kenapa kau nggak bilang cowok itu yang pindah ke sini sih?!" tanyanya saat melihat Eva membenamkan wajahnya di atas mejanya sambil tertawa melihat reaksi Ivy.

"Nanti kau pingsan lagi," ujar sahabatnya itu sambil masih tertawa.

Sial! Sial, sial, sial!

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang