Kopi...
Susu...
Sirup...
Es...
Kopi lagi...eh...?
"Apaan nih? Encer banget. Buat ulang," Devon memerintahkan Ivy mengulang kopi buatannya untuk yang kelima kalinya. Ivy menghela napas panjang. Cuma demi sepasang sepatu, ia membiarkan hidupnya menderita seperti ini. Di mana akal sehatnya?
"Apa dia selalu segalak ini?" tanya Ivy pada Noah sambil menatap Devon berjalan menuju salah satu meja yang kosong dan mulai mengerjakan sesuatu yang terlihat seperti pembukuan kedai kopi itu.
Noah mengangkat bahunya. "Biasanya dia baik-baik saja. Mungkin moodnya hari ini sedang kacau. Dia memang agak moody sih." Noah menuangkan susu cair ke dalam blender lalu membiarkan blender itu mengaduknya. "Ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya kau bisa sampai bekerja di sini?"
"Dia menjebakku."
Kemudian Ivy pun menceritakan apa yang terjadi dan seperti yang Ivy duga, Noah tak berhenti tertawa setelah mendengar cerita Ivy. Orang-orang yang sedang memesan kopi di depan meja kasir sampai melihatnya dengan heran.
"Itu..." Noah masih tersengal akibat terlalu banyak tertawa. "Itu nggak masuk akal!" cowok itu lanjut tertawa lagi, membiarkan Ivy mengatasi seluruh pelanggan di sana sendirian.
"Cowok gila. Bagaimana keadaan Auguste setelah Devon meninggalkan kalian?" Ivy bertanya sambil membuka sebungkus besar biji kopi dan menuangnya ke dalam mesin kopi.
"Awalnya...heboh sih yang pasti. Semua orang syok bukan main. Maksudku, kita semua bermimpi untuk mempertahankan gelar juara nasional dari tahun lalu—saat kita membawa trofi itu ke ruang kepala sekolah. Devon selalu bilang, kita pasti akan ada di sana lagi tahun ini. Sekarang semuanya nggak yakin kalau hal itu akan terjadi. Apalagi setelah dapat kabar Devon melatih Allegia sekarang."
"Kalau kulihat sih tim putraku masih payah. Lebih mending, tapi masih payah," koreksi Ivy.
"Oh jangan salah, di tangan orang itu tim putramu bisa berkembang lebih pesat dari yang kau bisa bayangkan," Noah mengedik ke arah Devon yang masih terbenam di tumpukan berkas-berkasnya. "Tim Auguste dulu juga nggak jago-jago amat kok. Semuanya karena dia."
Ivy memperhatikan cowok itu dari tempatnya berdiri sekarang. Ia masih tak habis pikir bagaimana Devon akan mengubah tim putra Allegia dari pecundang menjadi pemenang. Perlu keajaiban sih sepertinya, tapi mungkin cowok itu sendiri adalah keajaiban yang tim sekolahnya tunggu-tunggu.
"Lalu bagaimana kabar kalian sekarang?"
"Sudah lebih baik." Noah mengangguk. "Aku dan Devon mencoba bicara pada semua anggota tim sebelum Devon pindah. Kita coba membuat mereka percaya kalau bukan Devonlah yang menyebabkan tim kita hebat, tapi individu di dalam tim. Devon juga bilang kalau kepindahannya ke Allegia tidak ada hubungannya dengan tim basket kalian. Kalian tidak melakukan apapun untuk menghasut Devon agar pindah. Semuanya adalah pertimbangan pribadi dan keluarganya."
Dalam hal ini, keluarga pastilah maksudnya adalah ibunya. Dari awal Ivy yakin betul kalau cowok itu terpaksa pindah karena permintaan ibunya. Entah untuk menjaga Ivy, mendekati Ivy, atau apapun. Yang jelas tidak mungkin keinginan itu berasal murni dari diri Devon mengingat betapa cowok itu membenci Allegia.
"Ivy..." Noah memanggilnya sambil matanya menatap ke arah pintu. Cewek cantik yang sempat datang menghampiri Devon saat setelah Ivy sparing melawan Auguste beberapa minggu yang lalu muncul di tempat itu. Kalau tidak salah Devon memanggilnya Liz. Kehadirannya membuat cowok-cowok di sekitarnya berhenti dan menoleh. Sungguh aura yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Teen Fiction[TAMAT] You have one job, Ivy! SATU TUGAS: mengantar undangan pertandingan basket ke SMA Auguste! Entah bagaimana tugas yang terdengar sederhana itu berbuntut panjang. Lepas kendali sampai hampir mencekik Devon Reyes, si Ketua Klub Basket Auguste...