Bab 5

5.9K 348 12
                                    

Ivy turun dari mobil dengan terhuyung dan hampir terjatuh. Banyak sekali hal yang berseliweran di kepalanya, sampai-sampai ia lupa menyeimbangkan tubuhnya sendiri. Semua orang yang ia lewati langsung menyingkir saat tubuh Ivy yang tertutup tumpukan kardus yang ia bawa itu limbung. Persis adegan acara komedi di TV.

Kemudian mendadak pagi itu semua orang memanggil namanya.

"Ivy, mana berkas pendaftaran?"

"Ivy, mana invoice vendor food truck?"

"Ivy, mana jadwal pertandingan?"

Ivy ini, Ivy itu. Kepalanya serasa seperti balon dan orang-orang itu terus mengisi udara hingga sebentar lagi kepalanya akan meledak.

"Ivy, berapa nilai tukar dollar terhadap yen sekarang?"

"MANA KUTAHU!"

Saat Ivy menoleh, Rafaellah yang ternyata sedang mengerjainya. Cowok itu sudah ada di belakangnya sambil menyunggingkan senyum kemenangan. Oh, Ivy tahu betul apa yang sudah cowok itu menangkan.

"Fael, aku bahkan nggak mau lihat mukamu sekarang," Ivy mencoba tidak menggubris keberadaan cowok itu.

"Kulihat nama Auguste belum ada di daftar peserta."

Ivy mendengus kesal sambil mengabaikan seseorang yang memanggil namanya. "Aku tahu. Aku yang buat daftar peserta itu."

"Jadi?" Rafael mengangkat alisnya, seperti meminta jiwa Ivy sebagai tumbal kegagalannya. Bekerja untuk Rafael seperti menjual jiwa pada iblis.

"Maumu apa sih?" tanyanya pada Rafael. Lagi-lagi Ivy harus mengabaikan suara yang memanggil namanya.

Rafael merogoh sesuatu dari kantongnya dan saat melihat apa yang ada di tangannya, Ivy langsung protes keras. "No, no, no! Jangan! Aku nggak mau jadi 'tukang kunci'!"

Tukang kunci adalah mereka yang memegang kunci ruang klub. Jadi tukang kunci adalah hal paling menyebalkan karena ketika siapapun dan kapanpun anggota klub ingin masuk ke ruang itu, si tukang kunci harus rela datang ke sekolah untuk membukakannya—bahkan di hari libur atau tengah malam sekalipun.

"Ivy..."

"APA SIH?!" Ivy habis kesabaran setelah panggilan yang ketiga dari suara itu. Tapi saat Ivy menoleh, ia tercengang melihat siapa yang ada di sana. "Err, eh, kalau mau menonton, ini jadwal pertandingannya," Ivy tampak panik mencari jadwal pertandingan dari bawah tumpukan berkas, kemudian menyerahkannya pada Devon.

Devon hanya menatap apa yang disodorkan Ivy. "Aku ke sini bukan untuk menonton."

Ivy mengerutkan kening. "Terus?"

"Kita mau ikut main, Ivy!" Kepala Noah menyembul dari balik punggung Devon. Saat Ivy sadar, semua anggota tim basket Auguste sudah duduk di dekat tangga gedung itu.

Melihat itu semua, Ivy tak bisa menahan senyuman lebarnya. Ia berbalik dan mendorong paksa kunci ruang klub kembali pada Rafael lalu menepuk bahu cowok iblis itu. Menang dari Rafael rasanya luar biasa—seperti habis mencurangi kematiannya sendiri.

Kemudian Ivy beralih pada Devon dan Noah. "Isi formulirnya dulu ya."

Ivy tak tahu ia harus senang atau sebal tim Auguste ada di turnamen itu. Sekejap mereka berhasil menyulap sekolah Ivy seperti pasar malam. Entah dari mana datangnya, mendadak di setiap sudut sekolah itu ada banyak gerombolan siswi penggemar tim Auguste dengan semua atribut mereka. Lebih bayak orang berarti lebih banyak pendapatan dari tiket masuk, tapi juga lebih banyak pekerjaan.

"Kau tahu, mereka bawa uchiwa bergambar wajah Devon. Mengerikan," gumam Steve yang baru saja menghamburkan dirinya untuk beristirahat di ruang klub setelah babak belur diserbu mereka yang berbelanja di food truck-nya. Steve dan kakaknya mengelola sebuah food truck makanan Italia. Hari ini food truck miliknya menjadi salah satu yang paling laris. Ivy sendiri sangat menyukai lasagna buatan mereka.

"Ini, Ivy, kuselamatkan sepotong untukmu," ujar Steve sambil mengangkat sekotak lasagna. Ia masih tengkurap di sofa.

"Waaaah!" Ivy melompat dan langsung menyambar lasagna itu. Aroma keju dan dari makanan itu langsung membuat semua orang di ruangan itu menatapnya iri. "Aku bayar untuk lasagna ini lho ya!" ucapnya pada semua orang yang menatapnya curiga.

"Gila ya, Auguste. Pertandingan pertama mereka belum dimulai saja sudah mendatangka masa sebanyak ini. Bagaimana kalau final nanti? Kita kayaknya harus pindah ke arena olimpiade," gumam Sang In yang berdiri mengintip dari jendela ruang klub.

"Duitnya nggak cukup buat sewa arena olimpiade," Rafael masuk ke ruang klub sambil memijat bahunya sendiri. Saat mata cowok itu dan mata Ivy bertemu, cowok itu langsung membuang mukanya.

"Kenapa sih kau melihatku seperti itu? Kesal karena gagal membuatku menderita?" Ivy duduk bersila di atas sofa di sebelah Steve. Ia mengunyah lasagna-nya dengan cepat, bersiap untuk kembali bertugas.

Rafael mengerutkan kening, menatap Ivy dengan heran. "Bagaimana caramu bisa membuat mereka setuju untuk ikut serta? Aku lihat sendiri Devon merobek surat undangannya di hadapanmu."

Ivy berhenti mengunyah. "Kau ada di sana?"

Rafael mengangguk.

"Yah..." Ivy menyekop sisa lasagna di atas kotak makan itu dengan garpunya, "Anggap saja ada hal yang membuatnya merasa bersalah dan dia ingin minta maaf—oh nggak, nggak. Aku nggak tidur dengannya," ujar Ivy cepat-cepat sebelum beredar gosip busuk tentangnya dan Devon. Maksud Ivy adalah pernikahan ibu Devon dengan ayah kandung Ivy yang cukup membuat Devon merasa bersalah, sampai-sampai ia mau menanggalkan harga dirinya untuk mengikuti turnamen ini.

Dirundung rasa penasaran, Ivy pun menyelinap masuk ke dalam arena pertandingan saat jadwal tim Auguste putra melawan tim McShera. Itupun Ivy harus menembus kerumunan dengan susah payah. Akhirnya Ivy bisa meloloskan diri dari kerumunan dan duduk di meja skoring. Spot terbaik.

"Gila," gumam Eva saat Ivy duduk di sebelahnya. "Auguste bermain seperti sedang meledek McShera."

"Maksudmu?"

"Mereka cuma mengeluarkan pemain cadangannya."

Ivy memandang ke seberang, tempat di mana tim inti Auguste sedang tidur, main game, dan mengobrol santai. Devon sendiri memasang headset di telinganya sambil membersihkan sepatu basketnya. Benar-benar tim yang sangat menyebalkan. Kalau ini Allegia yang sedang bertanding melawan mereka, Ivy rasa semua panitia pasti sudah walk out saking malunya.

Karena protes para penggemar Auguste di media sosial, mereka pun melakukan perubahan di babak terakhir. Dengan enggan, lima pemain inti Auguste memasuki lapangan termasuk Devon dan Noah. Ivy bisa melihat raut gugup di wajah pemain McShera. Lima menit kemudian, raut wajah mereka berubah putus asa.

Tak ada ampun dari Auguste untuk lawannya. Ivy sendiri tertegun menyaksikan apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Tempo dan skill permainan yang ditampilkan jauh berbeda dengan apa yang Ivy lihat saat mereka melawan sekolahnya waktu itu.

Mengerikan. Tujuh menit sebelum pertandingan usai, Devon meledakkan seisi lapangan dengan 3-point shot yang ia lakukan tanpa susah payah. Dan yang paling menyebalkan adalah Devon terlihat sengaja menoleh untuk memandang Ivy dengan tatapan angkuhnya sebelum melanjutkan pertandingannya.

"Kenapa dia melihatmu seperti itu?" tanya Eva yang juga menyadari hal itu.

"Karena dia ingin aku tahu kalau turnamen ini terlalu remeh untuk timnya."

Setelah mengatakan hal itu, Ivy menyambar ponselnya dari atas meja dan pergi. Pertandingan itu membuatnya muak.

* * *

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang