"Kau gila ya?! Latihan pagi-pagi begini! Kalau kakiku pincang gara-gara latihan dan nggak bisa masuk kelas gimana?!" bentak Ivy saat ia terkapar di tengah-tengah lapangan sepak bola.
"Apa bedanya pincang di pagi hari dan sore hari?" desis Devon sambil menarik tangan Ivy, memaksanya bangkit untuk mengikuti rangkaian latihan intensif berikutnya.
Latihan pagi adalah salah satu menu dari latihan intensif Devon. Sudah seminggu mereka dijejali oleh paket latihan intensif itu. Beberapa dari mereka bahkan mulai menyesali ucapan mereka untuk masuk ke perangkap iblis ini.
"Aku merasa seperti singa di kandang kebun binatang," keluh Eva saat Devon memberi mereka waktu lima menit untuk istirahat. Ivy melihat ke sekelilingnya. Semua orang menontoni mereka dari luar pagar lapangan. Para penonton itu sepertinya benar-benar menikmati bagaimana Devon meneriaki mereka, bagaimana mereka satu per satu tumbang—dan pura-pura mati.
Hanya Eva dan Ivy yang masih sanggup bicara, sedangkan anggota tim putri lainnya sibuk berbaring atau tengkurap di atas rumput mencoba untuk mengumpulkan nyawa mereka yang tercecer akibat latihan ini.
"Teman-teman..."
Eva dan Ivy langsung menoleh begitu mendengar suara yang sudah lama tidak mereka dengar di lapangan. Anggota tim putri lainnya mencoba sekuat tenaga untuk mengangkat kepala mereka. Dean ada di sana dan berdiri gugup melihat kondisi itu.
"De...Devon..." Saking gugupnya, bicara Dean jadi tergagap begitu.
"Jangan bilang dia mau menyerahkan jiwanya lagi pada iblis Devon. Ja—ngan—. Ya Tuhan, lindungilah hambamu yang polos itu—"
Ivy menahan tawa mendengar Cecil menjampi-jampi dalam gumamannya. Wajah Cecil yang biasanya terlihat cantik dan segar sekarang seperti orang uring-uringan habis dikejar penagih utang.
"Ya?" Devon mengerjap memandang anggota tim putra paling mungil yang dimiliki Allegia itu. Ivy berani bersumpah melihat Devon menahan seringainya.
"Aku...aku mau ikut latihan. Boleh?"
"Anak bodoh!" Cecil menepuk jidatnya dan langsung kembali tengkurap tak sanggup menyaksikan apa yang akan terjadi pada Dean.
"Aku tadi bicara dengan Mr. Flint, pembimbing tim olimpiadeku, katanya aku diberi dispensasi agar bisa ikut latihan basket," ucap Dean lagi.
"Kamu yakin?" tanya Devon, persis seperti sosok iblis yang menawari perjanjian sesat.
Dean mengangguk keras. "Aku nggak masalah. Aku ingin jadi lebih baik. Nggak ada tim untuk main tahun ini pun nggak apa-apa. Masih ada tahun depan." Cowok itu nyengir, tapi langsung menurunkan bibirnya saat melihat teman-teman tim putrinya—dari belakang punggung Devon— menggeleng dan memberi isyarat untuk tidak bergabung dengan mereka.
"Siapa bilang kau nggak punya tim tahun ini?"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Dean. Saat mereka menoleh, sebagian besar tim putra sudah berdiri di sana dengan seragam latihan, siap untuk menjadi mangsa Devon berikutnya. "Kita akan ikut tahun ini, Dean. Jangan khawatir," Rico menepuk bahu Dean.
"Aku baru tahu kalau kompak dan tolol itu bedanya tipis," bisik Eva, wajahnya iba melihat tim putra masuk ke dalam perangkap Devon. Ivy mendelik pada Eva. Bagaimanapun tim putra sudah mau ikut kompetisi itu kemajuan yang cukup bagus. Tapi tunggu...
Ivy mengabsen mereka satu per satu. Rafael tidak nampak di sana.
"Aku senang dengan semangat kalian," Devon tersenyum puas. "Tapi masalahnya sebentar lagi kita harus masuk kelas, jadi latihan dilanjutkan besok sore." Kemudian Devon membubarkan mereka semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
أدب المراهقين[TAMAT] You have one job, Ivy! SATU TUGAS: mengantar undangan pertandingan basket ke SMA Auguste! Entah bagaimana tugas yang terdengar sederhana itu berbuntut panjang. Lepas kendali sampai hampir mencekik Devon Reyes, si Ketua Klub Basket Auguste...