Bab 10

5.2K 327 15
                                    

Jangan tanya lagi.

Hari-harinya di Allegia bertambah buruk semenjak kehadiran Devon. Mendadak semua cewek di kelas itu—bahkan di sekolah itu—mencari-cari perhatian Devon. Si juara kelas mendadak bodoh, si kapten tenis putri mendadak lupa bagaimana melakukan serve, si anak seni mendadak gagu tak bisa melukis. Semua hanya ingin memonopoli Devon untuk diri mereka sendiri.

Yang paling menyebalkan lagi adalah Devon bersikap ramah—sangat ramah malah—kepada semua cewek di sekolah itu kecuali pada Ivy. Hal itu membuat Ivy jadi bahan tertawaan semua cewek yang ada di sekolah itu.

"Devon, kau kan teman sekelompokku! Bantu aku dulu dong sebelum membantu kelompok lain!" tegur Ivy saat ia menggagalkan percobaan kimianya yang ke tiga di jam pelajaran itu. Dari tadi bukannya membantu, Devon malah mengajarkan Ariel yang ada di meja sebelahnya.

"Coba saja terus. Selama kau nggak menghanguskan lab ini, nggak masalah sih," ucap cowok itu sambil menulis di atas catatan Ariel. Ucapan Devon yang masa bodoh itu membuat cewek-cewek di sekelilingnya menertawakan Ivy.

Ivy menghela napas kesal sambil mengambil dua larutan dari meja depan dan mencampurnya di satu tabung.

"IVY, JANGAAAN!"

Andai Sang In berteriak lebih awal, Ivy tidak akan meledakkan tabung reaksinya dan membuat seisi lab panik menyelamatkan diri.

"Kau ini bodoh atau apa sih!" Devon segera menghampiri Ivy yang hanya bisa berdiri mematung menyaksikan kekacauan yang baru saja ia perbuat tadi. Ivy menatap cowok itu membereskan meja mereka sambil mencoba mengatur napasnya akibat dadanya yang sudah sesak karena kekesalan yang memuncak.

"Baca dong panduannya. Jangan asal campur—Aduh!" Cowok itu mengerang saat Ivy sengaja menginjak kakinya dengan keras. Tak puas dengan hal itu, Ivy menendang perut cowok itu dengan lututnya lalu menyambar tasnya dan keluar dari sana diiringi tatapan seisi lab.

"Aku akan membunuhmu!" teriak Ivy pada Devon sebelum menghilang di pintu.

Ketegangan tak berhenti sampai di sana.

Hal lebih buruk terjadi di lapangan basket. Mendadak semua orang di klub basket mereka memperlakukan Devon seperti dewa yang mereka puja setiap harinya. Mereka semua membiarkan Devon melakukan apapun yang ia mau pada mereka.

Memuakkan.

"Kita akan latihan passing selama lima belas menit—"

Devon berhenti saat melihat Ivy duduk di pinggir lapangan mengayunkan kakinya dengan pandangan yang terlihat sangat merendahkan. Di kiri dan kanannya ada Eva, Sang In, Keira, dan Cecil yang ikut duduk tapi wajah mereka terlihat bingung—tak yakin siapa yang harus mereka ikuti, Devon atau Ivy.

Melihat hal itu, Devon berjalan menghampiri mereka tapi tatapan marahnya tampak hanya tertuju pada Ivy. "Kalau kau nggak mau ikut latihan, nggak masalah. Tapi paling nggak jangan memandang tim putramu seperti pecundang seperti itu."

"Umm...Ngomong-ngomong kita memang pecundang kok. Jadi nggak apa-apa," Rico mengangkat tangannya dan bicara dari barisannya.

Ivy melihat Devon memutar matanya mendengar ucapan Tommy. Lalu Ivy mendengus mengejek. "Aku nggak mau ikut apa katamu, cowok narsis," desis Ivy. Kemudian Ivy memekik saat Devon tiba-tiba menarik tangannya dan hampir membuatnya terjatuh. "APA—"

"Kita tanding. One-on-one, 15 menit saja. Kalau kau menang, kau boleh melakukan apapun yang kau mau. Kalau aku menang—" Mata cowok itu berkilat jahat. "Kalau aku menang, kau harus ikut apa kataku. Di sini atau di manapun itu."

Ivy mengangkat dagunya, lalu merebut bola basket dari tangan Devon. "Oke. Aku nggak takut."

Mereka pun berdiri berhadapan, dengan seluruh anggota tim basket dan anak-anak Allegia lainnya yang kebetulan ada di sana menonton dari pinggir lapangan. Tatapan mereka beradu, seperti ada percikan api yang tercipta karenanya. "Si—siap?" Rafael bertanya gugup melihat betapa tegangnya kondisi itu.

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang