Gue nggak tahu, tapi mata gue tiba-tiba aja kerasa perih. Iritasi, mungkin. Gue nggak bisa tahan semuanya, katika itu menyangkut pautkan posisi Rara. Pemandangan yang mungkin mereka anggap sudah biasa itu terasa begitu menjengkelkan, gue nggak pernah suka ama si Gorong-gorong. Benci banget gue sumpah, matanya itu loh, minta di colok tiap kali ngeliatin Rara, mana pake acara peluk-pelukan lagi. Buset, tuh anak gue tendang juga lama-lama.
Sambil berjalan santai, gue menghela panjang. "Wajar dong gue cemburu, Gorong-gorong sialan," gue mengusap wajah kasar, rasanya tuh kayak pengen nonjok orang, tapi siapa yang mau gue tonjok? Yakali orang di sekitar, gue si masih pengen hidup tentram. "Monyet."
Gue menendang angin, bersikap dingin pada sekitar, padahal niatnya tadi pengen ngasi coklat batangan ini ke Rara karena gue tadi terlambat dateng. Ini semua tuh gara-gara Pak Oteng sialan, segala pake ngulur waktu gue, kan kampret. Mana itu si Gorong-gorong manfaatin waktu buat deketin si Rara lagi.
Bangke.
Gue cemburunya nggak ilang-ilang lagi.
Zzz.
Bruk.
Gue terkejut saat sadar ada seseorang yang tingginya jauh di bawah gue saat itu nggak sengaja gue tabrak. Rambutnya di cepol satu, di bawah matanya ada garis hitam yang melengkung, dengan dandanan super bodoamat dimana ia hanya mengenakan kaos oblong, trening, dan lebih parahnya ia menggunakan sandal jepit. Parah. Ini cewek macem apa anjir. "Eh, sory, tadi nggak seng-"
Duagh.
Sakit goblok.
Tulang kering gue ketendang sama tu cebol satu. Sumpah sialan banget. "Lo itu jalan lihat-lihat dong! Mata itu di pake, dasar goblok," gadis itu justru mengomel dengan kalimat-kalimat yang tak kalah sadisnya dengan Rara.
Gue mendengus, lalu melototinya. "Ya gue udah mau minta maaf, kenapa malah lo tendang cebol!"
"Bodoamat gue, anjing."
Dan berlalu begitu saja, what the fuck is that? Gue kena sial apa sampe bisa ketemu sama orang nggak jelas kayak gitu. "Nyet."
Gue nggak tahu, tapi aura menjengkelkan itu terus saja membuat gue kesal setengah mati, aura konyol yang selalu berhasil membuat gue memutar mata berulang kali, sekaligus aura manis yang sanggup membuat gue terbang kedalam masa lalu. Masa dimana gue masih dengan pede-nya berlari keluar main kejar-kejaran pake singlet putih yang super belel dengan bermodalkan tekat dan semagat untuk mendapat mangsa.
"Gas, itu kejar cepetan!" Teman gue yang masih koloran berteriak memberitahu gue seolah-olah kita adalah sepasang manusia dengan tingkat kejelian tinghi untuk menagkap yang lain. "Tinggal dua orang lagi, Gas! Cepetan, aku jaga di sini."
Gue mendengus keras lalu mengangguk pasti, dan sempat-sempatnya berpose layaknya super hero yang sumpah amit-amit demi apa. "AKAN KUKEJAR KALIAN SEMUA!"
Dua orang lainnya sibuk berlari sambil terus histeris berteriak. "Woy, biasa aja dong kamu!" Gue yang asik mengejar pun tetap bodoh amat, lagi pula ini adalah waktu untuk membuktikan betapa lincahnya gue. Sampai-sampai gue nggak sadar, di antara dua orang tersebut ada salah satu anak cewek yang rambutnya di cukur cepak, lagi jaga jarak sambil mantau gue yang sibuk mengejar yang lain.
Cpak.
Monyet siah.
Ada sandal melayang pas kena jidat gue, kampret, sialan banget demi apa.
"KITA MENANG!!"
Wtf.
Apa-apaan sih ini, nggak terima gue. "Kok lempar sendal, sih!? Kan nggak ada aturannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.