Untuk melewati beberapa hari penuh ironi, gue benar-benar merasa asing. Terlebih pada tatapan Gara yang bikin gue ngerasa risih, mungkin dia masih marah sama gue. Tapi gimana ya, terakhir gue dengar perbincangan Rara sama itu si Gara aja bikin gue merinding setengah mampus, segala bilang mau patahin kaki gue. Kan nggak banget kalau gue pincang sebelah, bisa lenyap ketampanan gue nantinya. Dari pada itu, saat ini gue sedang bersama Hazel, bener-bener nggak di duga banget kalau dia bakalan ngajak gue bicara soal sesuatu yang penting kayak gini, dari raut mukanya sih dia memang sedang ingin serius dan gue lagi nggak niat ngusik siapa pun untuk beberapa jam kedepan.
Perpustakaan yang sepi bikin gue bisa dengar dengan jelas helaan napas si Hazel. "Gas, lo tau sesuatu soal Jeha?"
Dengar nama Jeha di sebut, bikin gue kontan mengerutkan dahi. "Kenapa?"
"Nggak papa, cuma perasaan gue nggak enak aja."
Gue memutar waktu saat terakhir pertama kali Hazel bertatap muka dengan Jeha, sorot mata Hazel benar-benar berbeda ketika memandang cewek itu. Memang awalnya gue kaget, karena tiba-tiba aja Jeha bisa masuk di antara gedung fakultas teknik dan bahasa. Padahal cewek itu maauk kedalam fakultas seni rupa yang mana gedungnya cukup jauh dari TKP. Gue menopang dagu, menatap Hazel penuh curiga. "Memangnya... ada apa?"
Gue nggak tahu kenapa gue harus berbicara dengan nada mengintimidasi kayak gitu, tapi ada secercah rasa kepo yang dahsyat banget di dalam otak gue, karena gue tahu seperti apa Jeha itu. Sejak dulu, dia termasuk cewek yang setia dengan pilihannya, yah, siapa lagi kalau bukan Dirga.
"Tadi... dia tadi minta tolong ke gue," adalah kalimat yang Hazel ucapkan setelah diam dalam waktu yang cukup lama. "Gue bingung, padahal dia lagi sama Dirga. Kenapa harus minta tolong?"
Gue tersekat, benar-benar tidak menyangka atas apa yang barusan gue dengar. Tenggorokan gue sakit banget, susah buat ngejelasin segala sesuatu yang gue ketahui, melampaui semua orang yang dekat dengan Dirga, gue yakin cuma beberapa orang yang kenal dia sebagaimana dia harusnya dikenal, dan gue salah satu dari beberapa orang tadi.
Hazel natap gue curiga. "Lo tau sesuatu?" cowok itu memincingkan matanya, ia bergerak sedikit mendekat. "Gas, kalau lo tau sesuatu, beritahu gue."
Gue mengerjapkan mata lalu tertawa garing, sumpah, gue bingung harus bereaksi kayak gimana lagi. "Gue nggak tau, Jel. Lagian kenapa gue harus tau? Gue nggak berhak ikut campur."
"Iya juga sih," Hazel bernapas lesu, sorot matanya penuh rasa khawatir.
Gue cuma tersenyum tipis. Akhirnya hanya sebuah kebohongan yang bisa gue sematkan selama ini. "Sori, Ajel."
"Dari pada itu, kenapa ya lo ikut-ikutan manggil Ajel?" cowok itu mendesis kesal. "Jelek banget, anjing."
Gue menggaruk tengkuk gue. "Sering denger Rara ngomong gitu, jadi ketularan."
"Alasan lo bikin gue pengen nendang lo sekarang."
Sebuah ringisan berhasil gue loloskan. Emang Hazel ini nggak bisa sehari pun buat jadi cowok cool yang punya martabat keren di mata orang-orang, kerjanya kalau nggak ngomel ya ngebacotin orang pake mulutnya yang fasih banget soal menghina. "Bentar lagi ada kelas, gue duluan ya," gue pamit lantas berdiri ketika melihat anggukan kecil Hazel. "Tapi gue pikir... ada baiknya lo ladenin permohonan tolong si Jeha."
Hazel membelalak, jelas banget dia mau ngomong tapi gue buru-buru ngambil langlah besar buat ninggalin ruang perpus. Gue menghela berat, kaki gue tiba-tiba aja berhenti tepat di lorong kosong lantai dua. Mata gue nggak berhentinya natap kosong jauh, perasaan campur aduk ini bener-bener bikin gue kalut setengah mati. Gue kacau dengan pikiran gue sendiri, menutupi segalanya agar terlihat baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.