Hari ini gue nggak ada kelas, gue lebih doyan menghabiskan sepanjang hari dengan berleha-leha di kasur. Melepas penat setelah sepanjang malam terus-terusan kepikiran soal Gara. Menghela berat, gue memandangi langit-langit kamar gue hampa. Sebenarnya gue juga salah, selalu menghindar dan memilih jalan aman.
Gue bukan egois, cuma gue pikir jika gue bercerita segalanya. Gue yakin Gara pasti bakal ngeluarin ultimatum di banyak media online atau offline untuk pensi karena tingkah kelewat batas para penggemar Gara yang menurut gue udah sakit jiwa. Gue paham dan gue mengakui bahwa Gara itu sangat tampan. Tapi mereka nggak ada kewajiban untuk selalu mengetahui segala hal soal Gara, kan?
Dan lebih parahnya, mereka ngusik hidup gue.
Sialan emang.
Tok. Tok. Tok.
Gue sempat tersentak, menatap pintu kamar datar. Kalau di ingat-ingat bukannya rumah ini sepi? Nyokap sama Bokap juga udah berangkat kerja. Alah, sabodo teuing.
"Mas-"
Brak.
Gue membelalakan mata kaget, bukan karena orang tersrbut masuk tanpa gue persilahkan, tetapi siapa yang kali ini sedang berdiri dengan senyum khas tengil cewek yang gue kenal.
"Rara?"
"Hai!"
"Ngapain lo kesini?" Gue bukan dendam atas tuduhan yang sempat Rara ucapkan waktu itu, tapi ya gue merasa sedikit kesal saja sama ini cewek satu.
Rara menghela, cewek itu melangkah mendekat. "Gue mau minta maaf."
"Oh. Udah gue maafin."
"Tapi lo kayak nggak ikhlas!"
Cerewet sekali. Gue memutar bola mata malas. "Udah gue maafin," gue bangkit, mengambil posisi duduk. "Lo tau rumah gue dari mana? Kenapa lo masuk rumah gue tanpa ijin? Dan ngapain lo kesini? Nggak mungkin cuma buat minta maaf."
"Tau rumah lo dari Gara. Karena dari tadi gue ketok-ketok di bawah nggak ada yang buka jadi gue masuk aja." Rara menjelaskan detailnya, ia menghirup nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan gue yang terakhir. "Dan gue kesini karena gue mau lo jadi teman gue."
"Hah?"
"Jadi teman gue, Jiya." Rara duduk begitu saja di tepi kasur gue. "Lo juga nggak punya teman, kan?"
Gue melongo. Iya gue tahu gue selama ini nggak punya teman, tapi pertanyaan Rara cukup membuat gue merasa tersinggung. Cewek itu bertanya tanpa pikir panjang, kelihatan banget orang yang akan langaung mengungkapkan isi hatinya bagaimanapun kondisinya.
Kerad juga.
"Gue nggak minat jadi teman siapa-siapa."
"Lo masih kesal karena tingkah gue waktu itu?"
"Iya."
Rara memberengut. "Lo jangan sejujur itu juga dong!"
Lo juga sama, keleus.
"Udah sana lo pulang, gue mau lanjut tidur," setelah itu gue lebih memilih untuk bergelung kembali ke dalam selimut, menyamankan diri.
Gue nggak tahu tujuan dan maksud dari Rara, nggak terbiasa menerima tamu selain Gara dulu.
Beberapa menit berlalu hening, gue pikir Rara sudah menghilang dari kamar gue, sebelum suara itu kembali terdengar. Membuat gue menyipitkan mata lantas membuka gelungan selimut lalu menatap cewek itu dingin.
"Lo cantik ya," jemari Rara sibuk membuka album foto yang memang saat itu sedang berada di atas meja, sengaja gue keluarkan untuk sekedar mengingat masa lalu dan lupa meletakkannya kembali. "Tapi lo persis cowok banget dulu."
Gue diam, mengamati kelakuan Rara akan sampai mana.
"Seandainya lo lebih respect sama penampilan lo. Lo bahkan bisa lebih cantik," cewek itu mendumel masih asik dengan sebuah album tebal yang berada di tangannya. "Ji?" Rara menoleh, ia mengrenyit lalu memutar bola mata.
"Gue ngomong sama lo, Jiya."
Gue menghembus. "Ya udah, makasih saran lo. Tapi gue nyaman sama gue yang sekarang dan gue sama sekali nggak ngerti masalah penampilan atau apa lah itu."
"Makanya lo harus jadi teman gue!" Rara menjawab antusias, ia menarik seulas senyum lebar. "Karena gue akan mengajari lo segala hal soal kecantikan, dan lo.."
Gue mengerutkan dahi, Rara justru menggantungkan kalimat yang membuat jiwa kepo gue kontan keluar begitu saja. "Gue kenapa?"
"Lo bakalan jadi tempat gue bercerita soal keluh kesah gue."
"Kenapa harus gue?"
"Lo tahu, Ji. Di dunia ini semua orang munafik, gue selalu di dekati banyak orang hanya untuk memanfaatkan posisi gue sebagai teman Bagas," cewek itu melangkah mendekati gue, sorotnya tiba-tiba saja muram. "Setelah mereka mendapatkan apa yang mereka mau, mereka bakalan buang gue. Tapi kalau apa yang mereka mau nggak terkabuli, mereka bakalan jadiin gue objek bully kalau lagi nggak bareng Bagas."
Terdiam, sempat terhenyak mendengar cerita Rara. Gue merasa cerita cewek itu familiar dengan apa yang saat ini gue rasakan, namun dengan kisah yang berbeda pastinya. Ntah bagaimana tapi sesuatu yang gue tutupi selama ini perlahan terbuka, seperti menerima sosok Rara perlahan-lahan.
"Gue nggak asik. Lo bakal bosan."
Rara memiringkan kepala, ia tersenyum segaris. "Ah, siapa bilang? Lo nggak semembosankan itu," cewek itu mengikat rambutnya yang panjang sebentar, lalu menatap gue jenaka. "Gara banyak cerita. Setiap hari datang ke gue dengan muka lesu, lalu bercerita soal dirinya yang bertepuk sebelah tangan."
Gue nggak ngerti, tapi nada bicara Rara justru bikin gue ngerasa sedang di cibir. Mendengus, gue bersedikap dada, lalu melempar pandang keluar jendela. Memberi jeda dramatis seakan ada musik melankolis yang mengiringi tatapan gue. Lumayan menjijikan, sih. Tapi yaudalah, lagi pula gue hanya berekspetasi, lo semua nggak berhak banyak komen.
Gue menyingkap helaian rambut gue kebelakang telinga. "Lo bisa jadi teman gue."
"Hah!? Serius!?"
"Serius."
Lalu secara tiba-tiba saja secepat angin berarak, Rara sudah berada di samping gue, memeluk gue erat dengan teriakan ala-ala membuat telinga gue sedikit penging.
Setelah mengakhiri aksi barbar Rara, cewek itu menatap gue senang. "Jadi hari ini kita resmi berteman!"
Meski aneh, tapi gue tetap saja mengangguk. Lalu tanpa gue sadari, gue menarik kedua ujung bibir gue, membentuk sebuah senyum tulus untuk Rara. Karena baru kali ini, gue nemuin orang yang berteriak kesenangan hanya karena berteman sama gue.
Yah, setelah sekian lama, akhirnya gue memiliki teman perempuan.
e t h e r e a l
"Hari ini kita harus pergi," mendengar ucapan Rara bikin gue bergelung malas.
"Nggak. Gue mager."
Gue dengar Rara berdecak, cewek itu menatap gue menuntut. "Kita harus rayain hari pertama pertemanan kita dong."
"Harus banget?"
"Iya lah."
"Nggak ah, lo aja sendiri."
"Gue traktir."
"Oke berangkat," insting gue lebih tertarik dengan hal-hal gratis, siapa sih orang jaman sekarang yang nggak tertarik dengan namanya traktiran? Kalau ada, gue cuma mau bilang; dasar goblok, kalau ditraktir ya berangkat. Nggak usah sok kaya, ingat! Kita itu miskin. "Gue mandi dulu."
Rara menghela berat, gue lihat ia mengelus dada sabar. "Sialan lo emang."
****
Sudut pandang beragam euy
Ahahaha
Yaudah
C u next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.