Saat ini gue ada di rumah Gara, beberapa waktu kebelakang memang gue masih menangis. Tapi setelah gue ngambil waktu untuk menyendiri, perasaan gue sedikit membaik. Tadi pas gue lagi nangis drama di tengah jalan, tiba-tiba aja gue denger suara yang familiar banget. Suara yang cenderung tengil abis tapi kadang juga cool abis. Helaan samar terdengar dari bibir orang yang lagi berdiri di depan gue, cowok itu menepuki kepala gue pelan, yang justru bikin gue ngedongak dengan air mata serta ingus yang meleber kemana-mana.
"Gara..." gue terisak, mengulurkan jemari lalu kembali menariknya, meremat kuat lengan baju yang waktu itu gue pakai. "Gue sekarang jelek banget ya..." gue merengek. Dah bodoamat, gue nggak bisa mikir apa-apa lagi waktu itu.
Gara ikut berjongkok, dia natap gue sedih. "Doh, adik kesayangan gue nangis," adalah kata yang Gara ucapkan setelahnya, kadang Gara memang semanis itu, ia selalu mengaku sebagai Abang gue kalau aja gue lagi mewek kayak gini. "Nanti gue hajar aja orang yang bikin Rara nangis, oke?" seulas senyum tipis menghiasi wajah Gara waktu itu, gue hanya mengangguk-angguk tanpa mengertu maksud dari yang cowok itu ucapkan.
Setelah itu Gara ngebawa gue menuju mobilnya, sepanjang perjalanan gue sempet mikir sih, kok dia bisa tiba-tiba aja berada dekat tempat kos gue? Padahal jarak rumah doi lumayan jauh. Tapi mumpung gue lagi males debat, dan gue lagi nggak pengen berhenti nangis, yaudah, gue nggak nanya-nanya lebih lanjut. Pas di mobil, Gara sama sekali nggak ngomong atau pun nanya gue kenapa, sorot matanya juga dingin banget, kayak emang ngasih gue waktu buat menyepi.
Setelah tiba di rumah Gara, dia ngajak gue masuk kamarnya, macem dulu pas rumah kita masih deketan. Masuk kamarnya dia juga udah kayak kebiasaan lama gue, awalnya gue udah nggak nangis lagi, tapi tiba-tiba aja Gara ngajak gue bicara dengan topik yang bikin gue kembali tersedu-sedu. Emang tai, dia kira nangis itu nggak cape.
"Ra, gue nggak mau kepo soal apa pun," cowok itu membawa segelas air putih, lalu menyodorkannya tepat di depan muka gue. "Tapi apa yang bikin lo sampai nangis kayak tadi?"
Gue melirik Gara sebentar. "Tanpa gue beritahu juga lo udah paham."
Gara nyengir, dia menatap gue jenaka. "Udah hapal banget, yak?"
Sejak dahulu, Gara itu yang jagain gue. Gue berasa punya guardian yang setia ngejagain gue gitu, tapi bedanya, ini manusia kuping lebar satu nggak pernah sehati pun bikin gue nggak naik darah. Tapi walaupun dia kayak gitu, dia yang selalu ada buat gue, jadi orang paling khawatir kalau gue kenapa-kenapa. Gara itu... menyeramkan. Sejak awal kenal dia, dia punya sisi gelap yang bikin dia jadi keliatan psikopat? Bukannya nggak mau ngasi tau, tapi katanya author cerita ini mau bikin versi lain ethereal soal Gara sama Jiya, hehe.
Intinya, jangan mau kenal Gara kalau kamu nggak suka jadi orang yang bakal doi ikutin kalau bener-bener penasaran.
"Lain kali jangan nangis di tengah jalan gitu," kali ini Gara senyum, senyum yang justru bikin gue pengen nangis lagi. "Untung gue yang nemu, kalau aja wewe gombel gimana? Di culik mampus lo."
Seperti yang gue bilang, gue nangis lagi dan makin nggak berhenti pas Gara narik kepala gue buat dia peluk. Gue sama sekali nggak ada perasaan berbau romansa pada Gara, karena selama hidup gue, dia bakalan tetap jadi orang yang punya tempat tersendiri di hati gue sebagai sahabat. Sejak 15 tahun yang lalu, cuma dia doang yang bertahan... ehm, bukan, malah kayaknya cuma gue yang bertahan? Karena sisi Gara yang cenderung menyimpan rahasia itu buat dia banyak di jauhi orang.
Sekarang gue ada di sini, duduk di sofa kecil yang mengarah tepat ke jendela luar. Nggak banyak yang gue pikirin, gue cuma sedikit merasa perlu sedikit menjauh dari Bagas aja. Iya, iya, ngerti gue ngambekan. Tapi kan apa salah gue coba ya nggak sih? Wajar dong gue marah? Ah nggak tahu lah, sabodo dah pokoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.