Semilir angin sore membelai, tepat di belakang gedung kampus tempat biasa beberapa pentolan kampus untuk menghabiskan waktu selama membolos kelas kali ini sepi karena kepala pentolan mereka saat ini sedang ingin menyiapkan ruang santai untuk berbicara empat mata bersama dengan cewek tomboy yang saat ini sedang menatap langit.
Menghela berat. Jiya mulai merasa tidak nyaman dengan kebisuan yang sempat terjadi. "Kalau lo nggak ngomong, mending gue balik."
"Tunggu." Gara menahan langkah Jiya, cowok itu menoleh, menyorot Jiya sayu. "Tunggu sebentar.."
Kadang pada satu sisi Jiya merasa sangat bersalah, dan sisi yang lainnya merasa ia harus melakukan hal tersebut. Hidupnya tidak tenang, ia hanya tidak ingin menjadi benalu lagi untuk sosok Gara. Menyayangkan beberapa hal yang menyebut fakta bahwa jarak mereka bahkan sudah sulit untuk Jiya sendiri gapai. Karena mereka sedang tidak dalam masa yang mengharuskan mereka bersama.
"Kenapa lo menjauh?" Gara kembali membuka percakapan, suasana hatinya sudah lebih tenang. Cowok itu menatap Jiya sedih. "Kenapa?"
"Karena gue harus..." Jiya menjawab datar, mencoba seperti biasa, menutupi segala sesal yang selama ini membentengi hatinya.
"Maksud lo?"
Mendongak, Jiya menatap jauh langit sore. Membiarkan rambutnya berterbangan merasakan lembutnya sapuan angin. "Kita nggak bisa bareng, Ga. Banyak hal yang membuat gue berpikir kalau gue itu... nggak pantes buat lo."
Gara mendengarkan. Cowok itu memilih diam sembari menatap visual Jiya dari samping.
"Karena pada dasarnya, lo dan gue itu berbeda," suara cewek itu melembut. Lantas menoleh menatap Gara yang masih bergeming. "Lo... terlalu tinggi untuk gue gapai."
"Maksud lo gue ketinggian? Lo mau gue operasi tulang aja?"
Memejamkan mata, Jiya rasa selera humor Gara benar-benar tidak mengerti tempat. "Gara, please."
Nyengir, Gara menjawab. "Lo nggak asik kayak dulu."
"Don't talk about the past. Karena jelas gue yang dulu dan sekarang itu berbeda," Jiya menyahut seadanya, suara yang awalnya terdengar dingin, kali ini sedikit melunak.
Menghela berat. Gara menghadapkan badannya pada Jiya, menatap cewek itu serius. "Kenapa? Lo takut sama fans gue?"
Sebagai seorang selebriti, Gara banyak mengalami hal. Memiliki visual yang mumpuni dan bakat dalam bermain musik membuat Gara banyak digemari. Gara senang dengan pekerjaannya, setidaknya ia bisa menjadi anak yang berguna karena sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Sosok Gara banyak di cintai banyak orang, banyak di kagumi banyak orang karena sikap ramah dan rendah hati yang ia miliki.
Beberapa orang mendekati dirinya, berpura-pura menjadikan Gara seorang teman hanya untuk panjat sosial. Tapi tidak dengan Jiya, cewek itu justru merasa biasa saja, ia hanya memandang Gara sebagaimana orang biasanya. Sosoknya tidak pernah menuntut lebih, sangat sederhana dan apa adanya. Membuat Gara mau tidak mau menyimpan perasaan lebih pada cewek barbar itu.
"Buat apa lo takut? Ada gue di sini, yang selalu bareng sama lo sampai kapan pun. Nggak peduli mau mereka kayak gimana juga, gue udah milih lo sebagai milik gue."
Jiya meremat kaosnya, ia menelan ludahnya sulit. "Nggak segampang itu, Ga," cewek itu menunduk, ia ingin sekali bercerita apa saja yang sudah terjadi, ingin berkeluh kesah soal kelakuan fans garis keras Gara padanya. Tapi tidak, Jiya terlalu takut mengatakannya. Karena Jiya pikir dengan menyembunyikan segalanya maka semua akan baik-baik saja. "Lo nggak tahu rasanya jadi gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.