Bagas; Cute Rara

20 1 0
                                    

Hari ini gue kesiangan, gue nggak kepikiran buat ngecek keberadaan Rara karena gue tahu, itu anak pasti udah bangun duluan dan berangkat lebih dulu sebelum gue. Sebenernya pas sampai kampus tadi, gue mau protes ke Rara, kenapa dia nggak bangunin gue. Tapi ternyata dugaan gue salah, Rara justru nggak berangkat, gue udah puterin se fakultas, itu anak nggak muncul-muncul juga. Akhirnya gue nyerah dan nanya temen yang saat iru harusnya berada di kelas yang sama.

"Rara, kemana?"

Anak yang gue tahu namanya adalah Caca itu justru diem, mandang gue sambil menganga. Ntah apa yang salah, tapi gue cepat-cepat menyadarkan Caca dengan mengintrupsinya lagi. "Halo? Rara kemana, ya?"

"Eh," Caca tersentak, cewek itu celingukan sebentar. "Rara hari ini nggak masuk, nggak tahu deh. Dia di alpa juga soalnya.

Gue mengangguk cepat, lalu tersenyum tipis. "Okey, makasih infonya."

Saat gue sedang berjalan menuju kantin, lagi-lagi gue bertabrakan sama yang namanya Jiya itu. Cewek barbar yang potongannya macem anak nggak keurus. Jiya hendak nendang kaki gue sebelum sesaat gue tangkis terlebih dahulu.

"Weits, santai dong!" Jiya menatap tak minat, benar-benar aneh selera si Gorong-gorong itu, masa cewek blangsak begini dia kejar-kejar sih. "Lo Jiya, kan?"

Jiya memiringkan kepalanya, ia justru menyipitkan matanya. "Siapa lo?"

"Gue Bagas."

"Bagas di dunia ini ada banyak, goblok."

Gue meringis. Ini cewek kalau ngomong nggak tanggung-tanggung. "Abira Bagaswara."

"Oh. Cowok menye tukang bacot itu, ya?"

Gue menatap sengit. Ini cewek mulutnya suka nggak mengerti aturan. "Gue nggak menye!"

"Terus? Cengeng?"

"Gue nggak cengeng!"

Jiya tertawa, membuat gue terperangah. Kesambet setan apa dia sampai bisa tertawa seperti itu. Yah, walaupun gue menilai selera si Gara itu jelek, tapi emang bener sih, Jiya itu tergolong dalam cewek manis bertahta jutek. Cewek itu bersedikap dada. "Jadi lo mau ngobrolin soal apa? Kebetulan gue lagi mager masuk kelas Pak Oteng."

"Pede amat lo segala ngajakin lo ngobrol."

"Oh, yaudah." Jiya beranjak, membuat gue mendengus keras sebelum sesaat gue nahan langkah itu cewek barbar satu.

"Dih, baperan amat," gue mencibir. "Yaudah mending ke Mekdi deket kampus aja dulu."

"Lo yang bayar," setelah itu gue di tinggal mematung oleh Jiya. Kampret, songongnya nggak ilang-ilang dari masih jadi biji cabe sampai udah segede geban sekarang.

Gue menghela lantas menyajarkan langkah Jiya. Gue menoleh sedikit lantas membuka pembicaraan.

"Lo deket sama si Gorong-gorong?"

"Gorong-gorong?"

"Gara."

"Oh." Jiya nampak seperti tengah berpikir, cewek itu tiba-tiba saja menunduk. "Iya. Tapi gue jauhin."

Naluri kepo gue keluar gitu aja, nggak peduli seberapa lama gue baru ketemu ni anak monyet satu. Langsung aja gue tanya apa yang ada di kepala gue. "Kenapa emangnya?"

"Gara itu terlalu bagus buat gue," gue dengar dia menghembus berat. Sorot pandangnya tiba-tiba saja kosong. "Karena gue.. terlalu minus buat dia."

Walau yang seharusnya merasa sakit itu Jiya, tapi jauh dari lubuk hati serta nurani gue yang paling murni tanpa sedikitpun noda, gue ikut merasakan apa yang Jiya rasakan. Nggak tahu gimana, tapi gue rasa ini semua pasti karena ocehan para pengikut sejati Gara dari jaman jadi maba sampai sekarang. Walau muka Gara itu nggak ada apa-apanya dari gue, tapi gue akui, tampang Gara bukan tampang yang mudah terlupakan.

EtherealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang