Malam itu perut gue bener-bener nyeri, sakitnya minta banget gue katain. Padahal gue nggak pernah gini sebelumnya, ya sakit sih, tapi nggak selebay ini buset. Gue dari tadi sibuk guling-guling di atas kasur untuk meredakan rasa sakit yang nggak ketulungan, walaupun nggak ngaruh banyak, tapi ekspresi bengong Bagas bikin gue nggak bisa untuk nggak ketawa. Mukanya itu loh, pengen banget gue cubitin.
"Ra, faedah lo kayak gitu apaan sih?" Bagas nahan kaki gue, bermaksud menghentikan aksi absurd gue. "Iya gue tahu lo kesakitan, tapi kelakuan lo bikin gue gemes pengen nendang."
Gue mendengus panjang. "Ini ritual supaya nggak sakit lagi," gue mulai mengada-ada, melihat raut wajah Bagas yang seolah mempercayai omongan gue, membuat gue makin gencar membual. "Kata nyokap gue, ini tuh ampuh banget."
"Tapi..." Bagas menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Yaudah, deh, lanjut aja," cowok itu melepas tangan yang menahan gue.
Gue justru tertawa panjang.
Bagas menaikkan sebelah alisnya bingung.
"Lo percaya?"
"Nggak."
Lah, ni anak gimana sih.
"Terus kenapa tadi kayak gitu?"
Bagas mengrenyit. "Gitu apa?"
"Ya lo nyuruh gue lanjutin."
"Oh," Bagas tersenyum miring. "Sengaja sih, biar badan lo makin sakit aja."
Gue mendesis, segera mengambil posisi duduk. Gue masih sibuk berkutat dengan pikiran gue sendiri, sama seperti Bagas yang senantiasa membaca novel fantasi favoritnya itu. Kadang kalau suasana tenang begini, gue suka tiba-tiba aja khawatir oleh sesuatu yang bahkan gue nggak ngerti apa. Emang aneh, tapi mandang wajah Bagas yang tenang kayak gitu bikin kadar kegantengan dia nambah berkali-kali lipat. Gue menopang dagu, sesekali menghela berat, macem ada sesuatu yang nahan gitu di tenggorokan gue.
Terakhir, gue pernah sekali bertengkar hebat sama Bagas, yang bikin kita berdua kayak orang nggak kenal sama sekali. Gue lupa-lupa ingat karena apa, tapi yang pasti saat itu karena gue nggak sengaja angkat telpon Kinanti. Bukan karena gue lancang atau gimana, tapi emang keadaannya tuh Bagas lagi cabut bentar beli mi goreng buat kita berdua.
Dan, for your information, Kinanti itu cemburuan banget. Yang mungkin ujung-ujungnya bikin mereka bertengkar. But what the hell, gue bahkan sama sekali nggak bermaksud bikin mereka berantem. Dan besoknya, pas di sekolah, tiba-tiba aja dia ngomong ke gue. Konteks bicaranya nggak ngebentak sama sekali, malah kelihatan hati-hati banget. Tapi bikin gue bener-bener tersinggung sekaligus sakit hati.
"Ra, semalem lo yang angkat telpon Kinanti?" saat itu kelas dalam keadaan sepi dan dia membuka percakapan seperti biasa.
Gue mengangguk. "Iya, tapi semalem langsung dia matiin."
"Tapi kenapa lo nggak bilang ke gue kalau dia nelpon?"
"Gue lupa, Gas."
"Ra," cowok itu menahan napas sebentar lalu menghembusnya berat. "Lo lain kali jangan kayak gitu. Hari ini gue berantem sama Kinanti, dia marah gara-gara semalem yang angkat telpon bukan gue, dan setelah itu nggak nelpon balik dia. Seharusnya lo kasi tahu gue."
Jelas banget dia kesel sama gue.
Dan nggak gue pungkiri gue pun ikutan kesel.
"Lah? Gue lupa gimana coba," gue mendengus, iya gue emang keras kepala dan nggak ngerti situasi. "Coba dong itu cewek lo suruh nggak usah berlebihan."
"Ra."
"Apa?"
"Mau ya lo minta maaf ke dia sekarang?"
Cuih. Gila aja, ngarep banget, lagian di sini gue nggak sengaja dan gue beneran lupa.
Gue membuang napas kesal. "Gue nggak mau."
"Ra, tolong. Gue nggak mau dia marah lagi."
"Sejak kapan sih lo jadi bucin?" gue hampir kesulut emosi, Bagas selemah itu soal cinta emang. "Fine, gue yang bakal minta maaf langsung. Sekalian aja, gue sujud mohon perampunan maaf sama Kanjeng Ratu Kinanti kesayangan lo."
"Nggak gi-"
"Alah, bacot."
Setelah itu gue berlalu, meninggalkan Bagas yang waktu itu gue denger jelas dia menghela berat. Yang akhirnya membuat kita berdua tidak saling menyapa, ehm, lebih tepatnya gue. Bagas selalu nyoba buat bicara lagi sama gue, tapi gue abaikan karena secara nggak langsung dia milih orang yang baru aja dateng dalam hidup dia kebanding gue yang udah lama nemenin dia dalam kondisi apa pun.
Gue nggak minta pengakuan, gue nggak mau kelihatan paling berharga.
Tapi lihat Bagas kayak gitu, bikin gue muak.
Gue tahu gue salah, tapi sikap Bagas bikin dia jadi kelihatan lemah. Gue bener-bener nggak suka, gue benci lihat orang yang terlalu menganggungkan cinta sampai-sampai mau di perbudak. Sejak awal Bagas pacaran sama tu si Kinanti, gue sering lihat Kinanti di kelilingi banyak cowok dan setiap gue protes soal perilaku Kinanti ke Bagas, dia cuma bisa senyum sambil bilang; nggak papa, yang penting dia sayang sama gue.
Demi yasoda jodha akbar, gue pengen tempiling itu anak satu pake kaki gue sumpah.
"Lo kenapa?" Bagas membuyarkan lamunan gue, dia kali ini menutup novelnya dan memandang gue seksama. "Balik ke masa lalu, ya?" cowok itu tersenyum tipis.
"Nggak. Sok tahu lo," gue mencoba untuk menyela.
Bagas menghampiri gue, dia duduk tepat di sebelah gue. "Gue sayang sama lo, Ra."
Waktu seolah berhenti saat itu, sorot mata Bagas bikin gue tenang seperti yang sudah-sudah, dia punya pandangan yang bikin gue selalu ngerasa aman. Jemari besarnya mengusap rambut gue perlahan. "Sayang banget." Bagas lanjut berbicara.
Pipi gue tiba-tiba aja menghangat, gue mengulum bibir dalam. "Lo... jangan kelewat manis gini dong," gue merengek, bodoamat, soalnya Bagas kalau kayak gini bikin jantung gue pengen meledak. "Gue drg-degan banget tahu!"
Bagas tertawa, sampai lengkung matanya tercipta sempurna. "Silly me."
"Apa?"
"Bodohnya gue dulu nggak lihat keberadaan lo," Bagas menghela napas, ia tiba-tiba aja narik gue dalam rangkulannya. Adoh, ini anak satu super banget kalau masalah bikin jantung gue jedag-jedug. "Maafin gue yang masih belum bisa bahagiain lo, sebagai sahabat atau sebagai pacar," nada sesal jelas banget gue dengar dari suaranya.
Gue menepuk-nepuk dadanya pelan. "You having to protect me more than you aware. Jangan khawatir, oke, cup cup cup."
Bagas lagi-lagi tertawa yang guensambut dengan tawa juga.
Kali ini ia mengeratkan pelukan. Nyaman beut, hasek. "By the way."
"Kenapa?"
"Gue sayang lo juga, hehe."
Setelah itu tidak ada lagi yang berbicara, gue menikmati setiap waktu yang gue lewati bareng sama Bagas.
Gue berharap, masih akan ada malam-malam manis untuk seterusnya.
****
Have a nice day!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Ficção AdolescenteBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.