Ruang gelap dan juga lembab. Dindingnya menguarkan bau busuk yang membuat Jeha hampir muntah, lagi-lagi ia harus berakhir di sini, seberapa keras cewek itu coba menjelaskan tetap saja Dirga enggan mendengarkan. Kadang ia merasa menyerah, banyak hal yang membuatnya putus asa, tapi perasaannya jauh lebih besar daripada semua lelah yang ia dapat. Kesal juga, tapi bukan sesuatu yang baik jika ia meninggikan suara.
Dirga butuh orang yang mampu berdiri bersamanya sejauh apa pun ia melangkah, dan Jeha sedang berusaha untuk hal itu.
Geretan pintu memenuhi ruang tempat Jeha berdiam diri, sorot mata dingin menyapu hampa sosoknya. Dirga dengan balutan kaos sewarna biru laut kini berdiri tepat di hadapannya. "Seharusnya lo lebih hati-hati," suaranya selembut beludru, membuat Jeha meremang kala mendapati Dirga menyentuh ujung rahangnya.
"Sori," adalah kata yang Jeha ucapkan. Tubuhnya sedikit menjauh, menabrak dinding lembab yang mengelilingi mereka. "Tapi aku lagi nggak mau ketemu siapa-siapa."
Dirga tersenyum tipis, bukannya pergi, cowok itu justru semakin memojokan tubuh Jeha. Netra gelapnya menusuk, membuat Jeha kontan terbungkam. "Kenapa... lo menajuh?"
Jeha hanya menggeleng kecil, membuang muka ketika Dirga mengelus pelan surainya.
"Lo mulai berani, ya?" Dirga memiringkan kepala, seringai tipis menghias wajahnya yang rupawan.
Jeha menghela berat, sorot tajam mengiringi wajahnya yang terhias lebam. "Aku lagi nggak mau ketemu siapa-siapa, Dirga," cewek itu mengulang tegas, tubuhnya sedikit bergetar menahan takut atas intimidasi yang Dirga berikan.
"Lo nggak cinta lagi sama gue?"
Jeha mencuramkan alis. "Aku cinta sama kamu! Tapi apa yang selama ini kamu perbuat bikin saya selalu kesakitan," napas Jeha tak beraturan, metanya di genangi lautan air mata yang siap tumpah.
"Perbuatan gue? Yang mana?" Dirga menatap datar. "Yang ini?" cowok itu mulai melayangkan satu tamparan keras tepat pada bagian pipi Jeha.
Rasa panas merambat, harga dirinya terinjak hanya karena rasa sayangnya pada Dirga.
Jeha menangis, rasanya sakit sekaligus nyeri. Bukan fisik, tapi kepada batinnya.
"Ah, maaf~" Dirga nampak kembali menyesali apa yang ia perbuat. Ia seperti dikendalikan tanpa sadar. "Gue nggak bermaksud-"
"Berhenti!" jerit Jeha pilu, cewek itu terisak sekuat-kuatnya. "Tolong... berhenti perlakuin aku kayak binatang," cewek itu tenggelam dalam ilusi menyakitkan, membiarkan bahunya bergetar hebat karena tangisnya. Menolak segala perlakuan halus yang coba Dirga lakukan.
Bukan Jeha ingin melakukannya, tapi rasa sabar seseorang pun terbatas. Ia hanya ingin Dirga mengerti, jika mempertahankan sisi lainnya itu tidak akan pernah berjalan dengan baik. Pada akhirnya, Dirga sendiri yang akan terluka dan akan hancur bersamaan dengan sosoknya yang luruh.
Dan Jeha sangat tidak menginginkan itu. Dirinya sendiri pun membutuhkan Dirga sebanyak Dirga membutuhkan dirinya.
...Atau mungkin lebih?
"Jeha, gue sendiri nggak ngerti kenapa gue seperti ini..." nada suara Dirga melemah, cowok itu menatap hampa Jeha yang kala itu merauh pedih. "Lo juga paham, kan? Maaf, gu-"
"Dirga, aku memang cinta kamu tulus dari hati," lagi-lagi Jeha memotong ucapan cowok itu. "Tapi aku juga mau kamu kontrol semua itu... aku bisa mati kalau harus terus nahan segala tingkah kamu."
"Je, maaf."
"Aku mau sendiri dulu," cewek itu memeluk lututnya, surainya berantakan.
Dirga menghela berat. "Tapi lo harus bersihin diri lo dulu, dan pindah ke kamar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.