Sore itu gue balik bareng Jiya, gue maksa dia buat anterin gue. Sekalian, main gitu kek ke kosan gue kan ya, masa gue mulu yang nyamperin. Padahal kan dia punya banyak mobil, tinggal nyuruh sopirnya nganter, kelar dah. Lah gue? Anak kos yang merantau ke Ibukota buat mengais ilmu demi masa depan gemilang yang tiap harinya nebeng Bagas atau nggak naik gojek supaya efisiensi menuju kampus tetap terjaga di tengah macetnya Jakarta. Harusnya Jiya lebih peka, tapi berhubung itu cewek emang pribadinya super batu, jadi mau nggak mau gue ngeluarin jurus perbacotan gue demi kelangsungan pertemanan yang adil dan hakiki antara gue dan Jiya.
Jiya bergelung di atas kasur gue, cewek itu sibuk memainkan game online di ponselnya.
Double kill.
Triple kill.
"Ayo, maniac ayo!" cewek itu berujar antusias, kilatan ambisius di matanya kian memancar.
Legendary.
"Ah! Anjing! Gagal kan!" Jiya histeris, terlihat gemas sendiri. "Gara-gara kelamaan, nih! Ck, kaburan mulu dasar goblok!"
Gue tertawa, ternyata Jiya bisa seheboh itu hanya karena sebuah game online yang saat itu sedang tenar. Mungkin gue pribadi yang malas dengan dunia game analog macem Jiya, soalnya gue harus fokus belajar. Hasekdah. Fokus belajar. Hahay. Berasa calon profesor dunia aja gue dah. Gue membawa dua gelas teh hangat buat gue dan Jiya, sementara cewek itu sedang sibuk dengan gamenya. Gue sibuk membaca novel fantasi punya Bagas, ya dengan jumlah halaman lebih sedikit dari apa yang Bagas biasa baca.
Gue suka novel, tapi nggak secinta itu macem Bagas ke novel-novelnya.
"Ji," gue panggil Jiya setelah gue lihat cewek itu meletakkan ponselnya dengan wajah kusut macem kos kaki belom di cuci sebulan. "Lo ikut acara kampus, kan?"
"Nggak."
Gue mengangkat sebelah alis. "Lah? Ngapa dah?"
"Mager banget," cewek itu bangkit dari posisi tidurnya, ia menyorot gue kesal. "Lagian masa dresscodenya Fairy. Mana mau gue pake kostum macem anak TK."
Gue hanya mengangguk, yah, gue juga mikir gitu sih awalnya. Tapi kan, ini acara setahun sekali. Bodoamat. Ni cewek dinhin satu kudu ikutan. "Mau sampai kapan lo mager gini?" gue menarik senyum tipis. "Ikut aja. Kan ada gue," gue nyengir, berharap ajakan gue bisa Jiya pertimbangkan.
"Gue. Mager. Banget. Titik."
"Ji," gue bener-bener pengen jitak itu orang sumpah, demi apa sih batu banget. "Gue nggak mau tau, pokoknya lo kudu ikut. Emang lo tega biarin teman lo yang imut ini kesana tanpa seorang teman perempuan?"
"Tega-tega aja, sih."
"Hanjiya Keristalana."
Jiya nyengir, cewek itu cengengesan. Sesuatu yang jarang banget doi lakuin di depan banyak orang. "Iya gue ikut, bawel amat."
"Nah, begitu dong."
Hari ini hujan. Emang akhir-akhir ini bumi sering menangis, untung hujan air, kalau aja hujan duit kam bisa berabe dunia yang aman tentram damai bisa bentrok gegara rebutan duit. Nggak tahu deh, hati gue saat ini lagi pengen banget denger musik galau gitu. Dan jadilah gue nyuruh Jiya muter playlist gue yang mantep bener dalam menyentuh hati itu mengiringi lamunan gue yang syahdu. Sesekali gue menghela, gue juga nggak tahu untuk hal apa. Kayak akhir-akhir ini gue tuh lagi banyak pikiran aja, masalahnya adalah gue sendiri nggak tahu kenapa. Yaelah. Ribet amat dah.
Gue baru aja nyender ke tembok, Jiya tiba-tiba aja duduk ngadep gue. Iya, kita duduk sampingan di atas kasur, lagi sama-sama meratapi hidup dalam alunan musik mellow. Jiya menghela berat, cewek itu seperti ingin mengatakan sesuatu tapi nggak juga ngomong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.