Gelap menyelimuti langit, bertabur puluhan juta bintang, membuat tampilannya tak semembosankan warna dasarnya. Saat itu, gue sedang tidak bersama Rara, gue lebih memilih opsi tanpa sosoknya untuk kali ini saja. Gue ingat banget kejadian tadi siang, yang tiba-tiba aja Rara menyebut nama Kinanti, walaupun samar banget dan cenderung nggak kedengaran tapi gue jelas ngerti dan paham apa yang Rara gumamkan kala itu.
Gue nggak tahu apa yang lagi dia pikirin, karena Rara termasuk orang yang pinter banget nyembunyiin perasaan. Gue pusing, tiba-tiba aja banyak pikiran gini.
"Ini pesanannya, Mas."
"Oh, iya, makasih Mbak."
"Bagas?" tiba-tiba aja itu maid manggil nama gue, bikin gue kontan ngedongakin kepala. Sumpah, gue kaget.
"Kinanti?"
Cewek itu tersenyum hangat, dia mengulurkan tangannya. "Apa kabar?"
"Baik," gue menjawab datar, tanpa membalas jabat tangan Kinanti.
Cewek itu menghela napas, ia sedikit meringis. "Lo masih marah soal itu?"
"Soal apa?"
"Soal gue putusin lo sepihak."
"Oh," gue menarik napas. "Soal lo tinggalin gue demi cowok kaya raya itu, ya?" ntah kenapa gue justru mengeluarkan kalimat sarkas.
Dulu banget, gue inget, kalau sentuhan Kinanti benar-benar berarti buat gue. Dulu gue merasa hangat dan tenang, semacam lo merasa jika lo berada di antara zona yang bikin lo nyaman. Hingga pada saat hari di mana dia minta gue untuk nyamperin dia, yang terpaksa bikin gue nyuruh Rara nunggu di depan sebentar.
Waktu itu gue masih nggak kepikiran apapun, gue masih nyapa dia hangat, sampai gue menyadari ada yang beda dari raut wajahnya.
"Kenapa, Ki?"
Kinanti meraih jemari gue, tiba-tiba aja dia nangis. "Gas... maaf," ia menyeka air matanya. "Kita putus, ya?"
Gue yang saat itu masih dalam keadaan sulit mencerna apa yang Kinanti ucapkan hanya memiringkan kepala dan kembali bertanya. "Maksud kamu?"
"Kita putus," Kinanti mengulang lugas, ia masih menangis.
Gue menyipitkan mata lalu tertawa, manatap jenaka Kinanti. "Ki, kamu nggak usah bercanda," gue mengusap rahangnya lembut. "Aku nggak suka candaan kayak gini."
Kinanti menarik napas dalam. Cewek itu menarik jemari gue yang masih berada di rahangnya, menyingkirkannya perlahan. "Aku nggak bercanda, Gas."
"Alasan?"
"Mungkin... karena kita nggak cocok lagi."
Gue menghela napas. "Bukan karena, Dion?"
Kinanti tersekat, membuat gue membenarkan apa saja yang gue ucapkan dari sorot matanya. Gue benar-benar terpukul, perasaan gue rasanya lebur gitu aja. Gue nggak nangis, tapi jujur hati gue kayak ada yang nyubit, nyerinya bikin gue nggak bisa mikir apa-apa lagi. Sampai terakhir, dengan gitu aja, gue menjemput bibir Kinanti dengan bibir gue. Sedikit lama, gue seperti melampiaskan rasa kecewa gue. Sakit banget. Susah gue jelasin.
Di sela itu, gue membisikan beberapa kata. "Terimakasih buat lukanya, bakal aku ingat terus kok."
Setelah itu gue sudahi semua, dan tersenyum getir menatap Kinanti yang hanya membisu.
Baru saja menoleh, gue bertemu pandang dengan Rara yang sedang mematung di ujung sana. "Rara?"
Saat itu ia celingukan kayak orang kebingungan. "E-eh, gue tadi mau ke toilet. So-sori ganggu, lanjutin aja dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.