Hard to say

13 1 0
                                    

"Lo temannya, Rara?" Kinanti membuka suara, agak canggung dengan situasi yang Jiya terapkan.

Merasa dirinya di ajak bicara, Jiya menoleh, menatap tak minat. "Iya," bukan maksud Jiya untuk bersikap kelewat jutek, tapi memang sifatnya yang sudah paten dan tertanam sejak dulu.

"Ehm, kalau boleh tau, Bagas udah punya pacar belum ya?" Kinanti bertanya ragu.

Jiya menghela napas, ia tak suka arah pembicaraan ini. Bukan Jiya suka mengurusi masalah orang lain, tapi... Rara itu juga temannya. "Bagas udah punya pacar atau belum, gue cuma peringatin aja sama lo. Seenggaknya tau diri aja sih? Gue bukan tipe orang bersahabat, jadi plis nggak usah bikin mood gue jelek."

Kinanti terkesiap, cewek itu menunduk dalam, mungkin ia sudah salah mengambil topik pembicaraan. "Sori, tapi gue cuma pengen tau aj-"

Belum usai Kinanti berbicara, suara motor Bagas terdengar. Cowok itu datang tergesa, ia turun dari motornya lantas berjalan cepat menuju teras kos Rara. Kedua netra berlawanan itu saling menatap, mencipta ruang asing yang Bagas sendiri tak suka. Kinanti, cewek itu bagaimana bisa datang seperti ini? Apa yang mengharuskan ia datang dan kembali bersitatap dengan Bagas.

"Mana Rara?" begitu tiba, fokus Bagas langsung pada Jiya.

Jiya menghela, cewek itu kembali menatap poselnya. "Lagi beli makan di depan, nanti juga balik," kembali Jiya mendongak. "Nih, katanya mau ketemu lo. Mending cepat lo kelarin. Gue mau nyusul Rara."

Setelah itu Jiya berlalu, memberi ruang pribadi untuk Bagas mau pun Kinanti. Memang Jiya punya jiwa kepo yang mengental, tapi untuk masalah seperti ini, Jiya memilih untuk tidak ikut campur dan menyusul Rara. Seharusnya Rara tidak bertindak bodoh dengan merahasiakan hubungannya. Jiya bukan menyalahkan, tapi dirinya merasa sangsi ketika mendengar ucapan dari cewek yang saat itu sedang duduk manis di teras kosan Rara.

Ini hampir dua puluh menit kepergian Rara, tapi cewek itu tak kunjung balik juga. Sekedar menghirup udara malam, Jiya berjalan santai menuju lokasi yang Rara tujukan. Tiba di sana, ia tak sedikitpun melihat batang hidung Rara. Saat bertanya pada bapak-bapak yang berjualan pun katanya tidak ada pembeli dengan ciri-ciri yang Jiya paparkan.

Hingga sebuah pesan Line masuk, membuat Jiya terpaksa kembali membuka ponselnya. Saat melihat siapa pengirimnya dan isi pesan yang dikirimkan. Jiya kontan menghela berat.

Agara P: Ji

Agara P: Rara di rumah gue

Agara P: Tadi gue nemuin dia nangis di gang deket kosan

Agara P: Lo susul sini ya

Hanjiya Keristalana: Oke

Jiya bergegas, ia menggunakan gojek menuju kediaman Gara. Malam hari pun Jakarta masih semacet ini, Jiya menghela lega ketika Bapak sopir gojek dapat dengan lihai menerobos jalanan.  Sesampainya di lokasi, Jiya hendak mengetok dan memberi salam, namun sesuatu seperti menahannya. Tangan yang awalnya ia ulurkan, tiba-tiba saja batal ia lakukan. Ia merasa hatinya di cubit, mengingat dulu tanpa harus meminta ijin pun ia bisa masuk dengan leluasa tanpa takut di beri omelan panjang oleh pemilik rumah.

Menghela napas, prioritasnya kali ini Rara, ia harus segera menemui cewek yang kampretnya kabur lalu tau-tau sudah berada di rumah orang lain.

Tok. Tok. Tok.

Dan pintu yang besar itu pun langsung terbuka, menampilkan sosok tinggi dengan wajah familiar yang selalu Jiya mimpikan kali ini berdiri tegap menatap dirinya dengan sorot getir. "Lama banget ngetoknya," cowok itu berbicara. "Padahal udah gue tungguin dari tadi di depan pintu," seulas senyum miris terukir tepat di kedua sudut bibir Gara.

EtherealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang