Sepanjang hari Senin, gue nggak bisa fokus melakukan apa pun. Termasuk saat Bagas berulangkali membuat gue kena heart mini attack saat ia sedang tersenyum. Gila, gue bisa serangan jantung ini mah cuy. Soalnya, Bagas itu salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang paling nggak bisa gue dustakan keberadaannya. Mukanya bener-bener bikin gue kecanduan, dia itu kayak narkoba, perlahan tapi pasti dia bakal bikin gue nggak bisa lepas dari dia.
Sialan banget pokoknya.
Tapi mau bagaimana lagi, seenggaknya Bagas udah jadi milik gue, muehehe.
Dan lagi, Jiya juga udah jadi teman gue sesuai ekspetasi gue saat Gara bercerita soal dia.
Omong-omong soal Jiya, cewek itu punya tatapan yang cukup membuat gue nggak bisa berkomentar apa-apa. Gue masih sulit menerka apa yang dia pikirkan, terlebih ia masih selalu pasang muka badak yang kadang bikin gue gemes pengen nabok. Walaupun begitu, gue juga sadar sih, Jiya bukan kayak cewek kebanyakan. Dia punya sisi yang bikin dia kelihatan anggun, yah, sekalipun penampilannya cowok abis. Pantes aja sih, Gara bisa mati-matian kejar itu cewek satu yang datarnya allahuakbar bikin gue ngelus dada terus.
"Woy!" Suara kampret Bagas tiba-tiba aja membuyarkan lamunan gue. "Bebeb acu melamun aja ni."
"Dih, najis alay."
Bagas tertawa, kadang gue juga nggak habis pikir kenapa ketawanya Bagas bisa kelihatan seksi banget, bikin jantung gue jedar-jedor sendiri.
"Kok ketawa sih," gue memutar bola mata malas, lantas membuka lembaran demi lembaran buku paket yang gue beli untuk melancarkan kecerdasan gue yang agak tertunda.
"Habis lo kalau galak lucu. Mukanya gemes pengen gue tampolin."
Gue tersenyum segaris, tertawa garing. "Gue nggak tahu itu semacam pujian atau hinaan."
"Hehe, I love you."
Sesekali Bagas memang sekurangajar itu, tiap waktu dia nggak bisa kasi gue napas dikit, dia nggak tahu aja kalau mukanya dia itu bener-bener bikin gue pengen meluk dia banget. Huft. Tapi senyum tulus Bagas bikin gue lagi-lagi bertindak manis di luar kendali gue.
Jemari gue kontan terulur, mengacak gemas rambut Bagas. "I love you too."
Biarin dah lo semua pada geli, seenggaknya itu cara gue mencintai Bagas.
Ada harapan besar yang gue simpan setiap harinya, semoga gue nggak pernah terlibat masalah besar dengan Bagas. Karena gue terlalu takut, takut jika harus membagi jarak dengan dia. Gue menghela napas panjang, menatap Bagas yang kala itu fokus dengan ponselnya. Gue yakin Bagas itu tipe orang yang punya pesona di atas rata-rata, did I tell you some shit stories?
Dulu sebelum gue punya perasaan lebih terhadap Bagas. Bagas adalah cowok jaman sekarang yang memiliki belang tersendiri, kalau bisa di bilang dulu dia termasuk dalam playboy tertampan satu sekolahan. Beberapa kali gue memergoki dia got some kiss dengan pacar atau mungkin hanya sekedar temannya yang saling berbagi keuntungan.
Dulu, gue nggak peduli, karena pada nyatanya gue memang nggak punya hak atau kewajiban untuk mengatur segala apa yang harus ia lakukan. Toh itu hidupnya dia, gue mah cuma cukup jadi kepingan cerita yang keselip dalam kisah hidupnya.
Sampai pada suatu hari di mana gue sama Bagas baru aja kelar ngerjain UAS dan mau langsung balik. Waktu itu Bagas bilang dia ada urusan sedikit, yaudah, gue tungguin. Tapi itu lama banget gue nggak ngerti lagi dah pokoknya gue lumutan nungguin itu orang. Akhirnya gue mutusin buat ke toilet sebentar, gue juga kebelet. Pas gue ngelewatin koridor, tiba-tiba aja pandangan gue jatuh tepat pada siluet Bagas sedang berciuman dengan kekasihnya, kalau nggak salah namanya itu Kinanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
Teen FictionBe my lilly, please? -Dari orang yang selalu lo jitak setiap habis berantem sama orang.