Part 31 : Hear Me Please

6.9K 272 46
                                    

Hangatnya mentari sapukan wajah melalui celah gorden. Mata Sakha perlahan terbuka karena ulah silaunya mentari pagi. Pelan dan perlahan, mata Sakha menyesuaikan cahaya. Ini sudah pagi. Benar - benar sudah berganti hari. Sakha melihat jam dinding, sudah pukul delapan pagi.

Sakha memandangi wajah Ardila. Belum sadarkan diri. Sakha mendesah lesu. Ini sudah pagi dan istrinya tidak ada tanda - tanda untuk bangun? Mau sampai kapan kamu begini, Dil?

Badan Sakha rasanya remuk redam. Ia tertidur dengan posisi tidak nyaman. Bermodalkan kursi penunggu yang ada disamping brangkar dan bertumpukan pinggiran kasur pasien, itulah yang Sakha sebut sebagai tempat tidurnya semalam. Tapi rasa sakit dibadannya tidak sebanding dengan rasa sakit yang diderita oleh Ardila.

Sakha berdiri. Tangannya mengelus wajah Ardila. Pucat. Ardila terlihat pucat. Matanya, masih membentuk satu garis lurus seakan enggan untuk membuka melihat dunia. Bibirnya, masih terkatup rapat seakan malas untuk menyuguhkan senyuman hangat yang dimilikinya. Jika di setiap pagi Sakha akan tersuguhkan oleh hangatnya senyuman Ardila, untuk kali ini tidak. Seakan enggan untuk mempersembahkan seulas senyum indah di pagi hari untuknya seperti biasanya.

"Sampai kapan kamu begini, Dil?"

Sakha terus mengusap wajah Ardila. Tunggu.. Kamu? Sakha tadi menggunakan bahasa 'aku-kamu'? Yang benar saja? Mengaoa terasa aneh? Tapi.. Sensasinya nyaman dihati?

"Dil, gue manggil lo pake bahasa 'kamu'. Aneh nggak, sih?" Sakha mencoba mengajak Ardila mengobrol walau sebenarnya Sakha tahu Ardila tidak akan menjawabnya. Sakha berharap bahwa suaranya sampai pada Ardila.

"Lo suka nggak?"

Lagi, Sakha hanya bermonolog.

"Kalo lo tahu bangun pasti bakal ngetawain gue habis - habisan. Lo bakal ngejek gue setiap hari. Walaupun gue kesel tapi gue senang. Itu artinya lo kasih kesempatan gue buat liat tawa lo, Dil."

Sedangkan yang diajak berbicara hanya diam seraya memejamkan mata.

Sakha mendesah lesu. Sampai kapan istrinya akan seperti ini?

"Lo suka? Kalo iya, gue janji setelah lo buka mata gue bakal pakai panggilan itu untuk kita." Sakha menunjuk dirinya sendiri. "Aku.." Lalu kemudian Sakha mengelus pipi Ardila. "Dan kamu.."

**

"Nggak!" Napas Ardila tersenggal - senggal. "Ini semua nggak mungkin!"

"Sayang, tolong dengar dulu."

Terdengar isakan kecil lepas dari bibir Hartini. Ardila semakin yakin bahwa reaksi sang bunda ini mengarah pada sebuah kebenaran.

"Apa, Bun? Nyatanya Ardila kehilangan juga, kan?" Wajah Ardila mulai pias.

"Nak.." Agung mendekati Ardila lalu menarik putri semata wayangnya dalam dekapannya.

"Yah, semua itu bohong, kan? Jujur sama Ardila, yah. Bilang sama Ardila kalo itu bohong.."

Agung masih memeluk Ardila dengan erat. Agung menitikkan air mata melihat keadaan putrinya saat ini. Belum bisa menerima kenyataan yang ada.

"Kuat, ya, Nak. Kuat.."

Sementara itu Hartini masih sibuk menyusut air matanya. Ia saja bisa terpukul demikian, apalagi Sakha, terlebih Ardila yang mengalaminya. Pasti ini berat untuk mereka berdua.

Tak lama kemudian pintu terbuka memunculkan Sakha yang disusul dengan Irman. Tadi Sakha pulang sejenak untuk membersihkan diri dengan dijemput oleh Irman. Orang tua Sakha juga demikian, setelah sejak pagi hingga siang mereka berjaga kini saatnya mereka untuk pulang dan berganti dengan orang tua Ardila.

Perfect WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang