Part 32 : Hanya Mendung, Tak Sampai Hujan

7K 253 37
                                    

"Do you want some apple?"

"No."

"Do you want something?"

"I just want to sleep. For a while."

Ardila langsung merebahkan tubuhnya dengan posisi membelakangi Rere yang duduk di kursi dekat ranjang serta Meisya yang duduk ditepi ranjang. Dengan sigap Meisya membungkus tubuh Ardila dengan selimut.

“Gue keluar dulu, ya,” bisik Meisya sembari mengusap kepala Ardila lembut.

Ardila hanya bergeming. Ia hanya diam dengan pandangan lurus kedepan. Pandangan kosong.

“Kalo ada apa – apa hubungin kita. Kita selalu ada buat lo. Lo nggak sendirian, Dil.” Adalah Rere yang tiba – tiba berdiri disamping Meisya.

“Kita keluar dulu.” Rere mengecup puncak kepala Ardila lalu mengusapnya sebentar.

Rere dan Meisya meraih tas masing – masing lalu keluar dari kamar Ardila. Begitu pintu tertutup rapat, Ardila langsung melihat kearah pintu. Kini ia sendirian. Kedua sahabatnya sudah pergi.

“... Kita selalu ada buat lo. Lo nggak sendirian, Dil.”

Entah mengapa ucapan Rere barusan membuat Ardila merasa sedih. Ia memang tidak sendiri. Ada keluarga dan sahabat yang selalu disampingnya. Namun entah mengapa sekarang ia merasa sepi. Ia hampa. Jiwanya seperti hilang sebagian. Tak ada lagi semangat hidup seperti biasanya. Mengapa bisa demikian?

Sudahlah, Ardila tidak tahu apa jawabannya. Ia hanya bisa merasakan tanpa tahu apa alasannya bisa seperti ini.

“Akhhh..” Ardila merintih saat ia ingin bangun dari posisi tidurnya.

Agung dan Hartini yang berada disebelah Ardila langsung sigap membantu Ardila yang ingin mengubah posisinya. “Sayang, kamu mau ngapain? Tiduran saja, kamu belum sepenuhnya pulih,” tegur Hartini.

“Badan Dila pegel, bun. Rasanya nggak nyaman,” keluhnya membuat pergerakan Agung yang sedang membantu Ardila untuk setengah duduk berhenti sesaat.

Ardila merasa aneh dengan gelagat orang tuanya. Seperti ada sesuatu tapi tidak ia ketahui. “Ayah kenapa diam? Ayah kenapa?”

“Ti—tidak. Ayah tidak apa – apa, nak.”

Tak lama kemudian dokter beserta perawat datang untuk memeriksa Ardila. Saat para perawat mengecek dirinya, sempat ia lihat kedua orang tuanya dan dokter yang menangani dirinya berbicara sesuatu yang entah apa itu Ardila tidak mndengarnya. Ardila menangkap raut wajah pias sang bunda. Namun sederet kalimat yang sempat tertangkap oleh indra pendengarannya membuat ia berkata spontan.

“Bayi?”

Kompak, tiga orang dewasa itu menoleh kearah dirinya. Inilah yang mereka takutkan.

“Aku mendengar kata bayi. Bayi siapa yang kalian bicarakan?”

“Nak, mungkin kamu salah dengar.”

“Nggak, bun. Aku nggak salah dengar.” Ardila melayangkan tatapannya pada dokter. “Bayi siapa yang Anda bicarakan dengan orang tua saya?” tanya Ardila dengan penuh tuntutan.

“Apakah kalian belum memberi tahu pada Nyonya Ardila?” tanya sang dokter pelan sambil memandangi wajah orang tua pasiennya itu.

Hartini menggeleng. “Kami belum memberi tahunya, dok. Saya nggak rela anakku dengar berita ini.”

“Mengapa begitu, bu? Anak ibu berhak mendengarkannya karena ini tentang darah dagingnya sendiri.”

“Saya nggak rela, dok. Anak saya pasti hancur.”

Perfect WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang