Part 8A : Satu Kalimat dari Bibirnya

5.7K 230 10
                                    

Our big day is coming!! Hari yang ditunggu telah tiba. Hari besar dalam sejarah hidupnya telah datang. Pukul 4 pagi Ardila sudah bangun. Sejak semalam ia susah tidur karena ia gugup luar biasa. Tapi ia mencoba tenang dengan tiada hentinya ia berdzikir. Semua sudah ia pasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ardila yakin apapun yang terjadi pasti itu yang terbaik dan ia selalu memohon agar diberi kelancaran dan kemudahan.

"Mbak, siap dirias?"

"Bismillah siap."

Pukul 5 pagi acara merias dimulai. Karena mengambil konsep adat jawa, Ardila harus disanggul tradisional. Ia memakai paes dan teman – temannya. Mbak Tini, sang penata rias khusus pernikahan adat jawa mulai menyapukan bedak diwajahnya. Karena Ardila memiliki kulit wajah yang sedikit sensitif, sebelumnya ia sudah mengkonfirmasi pada Mbak Tini agar menggunakan merk alat make up yang cocok untuk kulitnya. Dengan senang hati Mbak Tini memenuhi keinginan pengantinnya itu.

Selang dua setengah jam akhirnya urusan make up selesai. Ardila tampak cantik dengan balutan kebaya putih sepanjang lutut. Taburan kristal berkilauan memenuhi kebaya itu. Ardila nampak anggun dengan sanggul adat jawa dan bunga melati yang membungkus rambutnya. Sangat cantik. Tapi kalau boleh jujur, ia sedikit risih dengan paesnya karena tidak terbiasa tapi ya sudah tidak apa – apa.

Saat ditengah – tengah acara make up, ia sempat melakukan sesi foto dengan para bridesmaidnya. Seperti Rere dan Meisya salah satunya. Ada sesi dimana mereka tertawa bersama saat memakai bathrobe walau wajah mereka sudah cantik karena riasan, saat Rere dan Meisya memakaikan heels untuk Ardila. Seperti itulah.

"Subhanallah, nak. Cantiknya kamu." puji Hartini berdecak kagum saat melihat anaknya yang sangat cantik hari ini.

"Terima kasih, bun. Ini semua juga berkat bunda. Ayah mana?" tanya Ardila. Biasanya ayah bundanya itu kalau kemana - mana pasti berdua. Mereka sudah seperti perangko, lengket satu sama lain.

"Masih diluar. Dia gugup juga, Dil, asal kamu tahu," Hartini duduk disebelah Ardila.

"Kan yang mau nikah aku, bun. Kok ayah ikutan gugup?" tanya Ardila penasaran.

"Wajar mau ngelepas anak gadisnya. Pahaman dikit dong. Udah jadi pengantin masih saja lemot." Ledek Hartini. Sebenarnya ia juga gugup setengah mati. Bagaimana tidak anak perempuan yang ia lahirkan sekitar 25 tahun yang lalu hari ini akan melepas status lajangnya.

"Bunda ih ngeledek mulu."

Keduanya masih saling melempar ledekan. Jika dilihat mereka bukanlah seperti ibu dan anak melainkan dua orang teman wanita yang sedang bercanda tawa. Ardila sadar bahwa setelah ini tidak ada lagi momen seperti ini karena sebentar lagi ia sudah milik orang lain. Acara saling ledek itu terhenti saat Hartini mengucapkan dengan nada lembut namun terkesan serius.

"Bahagia, ya, nak." Hartini menatap wajah Ardila.

"Doakan saja ya, bun."

"Ridho kami selalu menyertai langkahmu. Bismillah, nak.."

Hartini memeluk erat anaknya. Setetes air mata turun dari manik matanya. Dengan cepat ia mengapusnya agar Ardila tidak melihatnya. Tanpa disadari Hartini Ardila sudah meneteskan mata terlebih dahulu.

Ditempat lain ada seorang laki – laki yang sedang duduk dipinggiran ranjang. Kedua bola matanya yang berwarna hitam legam menatap ke arah jendela. Hutomo mengetuk pintu kamarnya. Tanpa pergerakan apapun Sakha hanya mengucap "masuk." Tanda menyuruh Hutomo langsung masuk saja kedalam kamar.

Perfect WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang