Part 20 : Emosi

5K 200 3
                                    

Wanita itu masih setia memejamkan matanya. Wajahnya yang tenang menandakan bahwa tidurnya begitu damai dan nyenak. Posisinya yang terlentang terbalut selimut itu merupakan posisi yang paling nyaman.

Saat ia memiringkan badannya ke kiri dan tanpa sengaja tangan kanannya jatuh pada kasur sisi kiri dan dengan perlahan merabanya, perlahan ia membuka mata.

Sekali lagi ia meraba sisi kasur kosong itu. Ardila langsung membuka matanya lebar – lebar. Kamar? Ia di kamar? Bagaimana bisa?

Ardila langsung terduduk diatas kasur. Meraba dirinya sendiri dan ia sudah terlepas dari mukenah berwarna merah muda itu. Bagaimana bisa?

Ardila mengingat – ingat kembali kejadian semalam. Setahu dirinya ia sedang di ruang keluarga sehabis solat isya, menunggu kepulangan Sakha sambil membaca al – Quran dan berdzikir di sofa depan televisi. Tapi kenapa ia bisa sampai disini? Seingatnya juga bahkan ketiduran saat berdzikir karena lelah dan ngantuk yang luar biasa.

Sakha. Entah mengapa satu nama itu terlintas dalam benaknya. Apa mungkin Sakha yang melepaskan mukenanya? Lalu apa mungkin juga Sakha yang membopongnya hingga ke kamar? Ardila tidak tahu. Tapi sungguh hanya satu nama itulah yang terlintas.

Kalau dipikir – pikir, Ardila mana mungkin berjalan ke kamar dalam keadaan mata terpejam. Aneh, tapi ya sudahlah.

Ardila melirik jam di nakas. Pukul 6 pagi. Oh tidak, Ardila bangun kesiangan.

Dengan cepat ia turun dari ranjang dan langsung bersiap untuk pergi ke kantor sebelum terjebak macet. Karena Sakha hingga kini masih membiarkannya berangkat sendiri ke kantor.

**

“Dil, makan gih. Ntar sakit kalo lo nggak makan,” bujuk Meisya.

“Nanti ya, nanggung banget ini tinggal dikit kelar deh nih film."

“Tapi ntar makan ya. Lo kurusan deh sekarang."

“Masa sih gue kurusan? Perasaan berat badan gue nambah."

“Perasaan lo doang kali ah. Banyak pikiran apa?” sela Rere.

Ardila hanya cengegesan lalu kembali melanjutkan menonton drama Philipine yang ia download di kantor seminggu yang lalu.

Kini mereka bertiga seperti biasa, nongkrong cantik di cafe milik Meisya sepulang kerja. Ardila tidak pamit dengan Sakha. Lagi pula mau dia pamit atau tidak, Sakha tidak akan perduli. Toh dia juga bawa mobil sendiri, tidak naik taksi ataupun ojek. Anggap saja ini hari bebasnya.

Terdengar dering ponsel dari tas Rere. Dengan segera Rere merogoh tasnya dan mengangkat panggilan itu.

Raut wajah Rere yang tadinya biasa saja berubah saat memperhatikan layar ponselnya yang memunculkan nama Sita, teman dekatnya di kantor.

“Gue angkat bentar,” ijinnya.

Lalu Rere beranjak dari kursi dan sedikit menjauh dari teman – temannya itu.

“Halo, Sit.”

Kini tinggallah Ardila dan Meisya di meja itu. Makanan Ardila masih utuh dan mulai dingin. Sedangkan milik Meisya tinggal sedikit dan dipastikan sebentar lagi akan selesai.

Perfect WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang