Espoir | 4 / re-write

19.1K 1.9K 562
                                    

Airin

"Gue hamil."

Wanita mana pun di dunia ini pasti tidak ada yang ingin berada di posisi gue. Termasuk gue sendiri sekalipun. Dibenci, dihina, dipandang sebelah mata, bukanlah pilihan hidup yang akan membuat nyaman seumur hidup.

Setinggi apapun pendidikan yang pernah gue tempuh, sebanyak apapun gelar yang yang gue punya. Semua menjadi tidak ada artinya jika gue adalah wanita kedua, makhluk yang sebagian besar orang anggap paling hina di muka bumi.

Wanita.

Kedua.

Dua kata itu jika disatukan terdengar menjijikan di telinga bukan? Tapi apakah perpaduan kedua kata itu masih sama menjijikan, jika kalian atau orang terdekat kalian yang mengalaminya?

Gue rasa tidak.

Karena dulu pun gue sama seperti kalian, gue benci mereka, gue benci wanita kedua.

Dulu gue sampai nggak habis pikir, kenapa ada wanita yang sanggup dan tega menjalani hidup dengan menyakiti wanita lain seperti itu?

Tapi setelah masuk ke dalam kehidupan Sehan lagi, dan mengalami sendiri setiap tahapannya. Gue bisa mengerti alasan apapun mereka ada. Gue bisa mengerti alasan apapun yang mendasari mereka hingga memutuskan sanggup menjalani hidup seperti ini, hidup menjadi wanita kedua, seperti gue.

"Han, gue hamil." Ulang gue lagi sambil berpindah duduk di sisinya. Sehan masih betah diam. Dia pasti sangat terkejut mendengar perkataan gue tadi dan gue ngerti. "Gue telat enam minggu... awalnya gue pikir karena kerjaan lagi hectic aja, guenya juga lagi banyak yang dipikirin. Tapi gue terus kepikiran. Feeling gue beda, makanya gue mutusin buat beli testpack. Gue beli sepuluh testpack, brand-nya macem-macem, dan kesepuluh-sepuluhnya hasilnya sama, semua positif."

Sehan mengusap kasar rambutnya, menunduk, "Maaf... kita nggak bisa pisah, nggak boleh pisah." Karena harusnya hari itu, hari perpisahan gue dan dia. Harusnya hari itu terakhir kalinya gue dan dia bertemu, setelah sebelumnya gue dan dia memutuskan nggak akan menemui satu sama lain lagi.

Sehan mengambil tangan gue, menggenggamnya. Selama beberapa menit dia masih betah dalam diamnya, menatap tangan gue yang digenggamnya, sebelum kemudian membawa gue dalam pelukannya. Untuk beberapa saat gue dan dia hanya berpelukan, seolah hanya itu yang gue dan dia butuhkan untuk meredakan semua rasa yang terkumpul dalam hati masing-masing. "Rasanya campur aduk. Sampai gue sendiri bingung harus ngomong apa." Sehan akhirnya membuka suara. "Satu yang pasti ke depannya nggak akan mudah untuk kita."

Air mata gue jatuh, membasahi bagian pundak kemeja Sehan setelah mendengar kata 'kita' terucap dari mulutnya. Itu artinya sejak tadi dalam diamnya Sehan memikirkan gue. "Gue tau itu, Han, dan gue siap, asal selalu ada kita, apapun yang nanti kita akan hadapi, gue siap."

Kalian sering dengar kan, jodoh, rejeki, dan maut semuanya ada di tangan Tuhan? Kalian percaya itu?

Gue percaya.

Gue percaya Tuhan telah menulis sedemikian rupa perjalanan hidup setiap hamba-Nya, termasuk juga hidup gue dan Sehan. Tuhan mempertemukan kami, membuat kami saling jatuh cinta, lalu membuat kami bersama selama sepuluh tahun. Kemudian Tuhan memberi gue jalan untuk mewujudkan cita-cita gue dan memisahkan kami sementara waktu, sebelum mempertemukan gue dan Sehan lagi dengan cara yang tidak gue dan Sehan duga. Lalu gue pun kembali menjadi bagian kehidupan Sehan lagi, meski harus dengan embel-embel wanita kedua.

Gue selalu yakin, Tuhan telah mengikat gue dan Sehan. Sejauh atau selama apapun kami terpisah, Tuhan pasti akan menarik tali pengikat kami dan mendekatkan kami lagi.

Espoir (Amour Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang