Espoir | 9 / re-write

18.8K 1.9K 335
                                    

Sehan

"Aku mau cerai."

Kemungkinan terburuk yang gue takutkan akhirnya terjadi. Aimee meminta bercerai. Gue nggak pernah nyangka Aimee akan benar-benar memilih keputusan ini. Gue merasa sangat terkejut sekaligus bingung sekarang.

Gue tahu, gue memang egois dan gila menginginkan Aimee dan Airin tetap ada dalam hidup gue. Tapi untuk saat ini, gue nggak bisa memilih. Meskipun gue tahu siapa yang akan gue pilih. Gue merasa berat memutuskan, merasa nggak bisa kehilangan salah satunya.

Setelah semua yang terjadi di dalam hidup Airin karena gue, nggak mungkin gue meninggalkannya begitu saja. Gue juga nggak mungkin meninggalkan Biel yang masih sangat membutuhkan keberadaan gue dalam masa pertumbuhannya. Tapi di sisi lain, gue juga nggak bisa dan nggak mau melepaskan Aimee. Gue sayang Aimee, sangat sayang Aimee. Nggak bisa gue bayangkan hidup gue tanpa ada Aimee di dalamnya. Apalagi sekarang Aimee sedang hamil.

Airin pernah memilih pergi dari hidup gue, meninggalkan jejak dalam hati yang gue pikir akan terus ada selamanya, tidak pernah bisa terhapus. Kemudian Aimee datang dan ajaibnya dalam waktu singkat jejak yang ditinggalkan Airin bisa dengan mudah terhapus olehnya.

Seiring berjalannya waktu, Aimee juga membangun tempatnya sendiri dalam hati gue, yang gue tahu lebih luas dan kokoh dari tempat Airin di sana.

Sejak itu gue sadar, perasaan yang gue miliki untuk Aimee tidak main-main. Sejak itu juga gue sadar, gue ingin Aimee seterusnya ada di hidup dengan menjadi bagian di dalamnya.

Sungguh, cuma bayangin hidup tanpa Aimee aja gue merasa nggak sanggup.

"Kamu... masih emosi. Aku ngerti-"

"Aku yakin sama keputusan ini." Potong Aimee, tegas.

"Aimee... kamu kan lagi hamil kita- "

"Justru kehamilan ini jadi alasan utama aku ingin secepatnya bercerai. Dan kamu! Kamu jangan gunakan kehamilanku sebagai senjata kamu mempertahankan rumah tangga kita." Aimee menjeda lalu, "Kamu penyebabnya. Keputusan ini ada karena perbuatan kamu! Kamu yang bikin aku memutuskan ini." Aimee menyentuh dadanya, kembali menangis, membuat gue seakan bisa merasakan rasa sakitnya.

Gue merasa sangat jahat, membuat Aimee mengeluarkan air mata sebanyak dan sesering ini. Tapi gue bingung, apa yang bisa gue lakukan agar air mata itu berhenti.

"Aku nggak mau lihat kamu disini!! Aku mohon kamu pergi dari ruangan ini sekarang juga!" Pinta Aimee di tengah tangisnya.

"Sayang..." gue berniat menyentuh pundaknya tapi Aimee menjauh.

"Jangan sentuh. Aku mohon! Jangan sentuh!"

Gue begitu terluka melihat rasa sakit yang Aimee tunjukan lewat bahasa tubuhnya, hingga gue merasa nggak pantas untuk berada di dekatnya. "Maaf.. maafin aku, Sayang.. maafin aku."

Gue egois, gue jahat. Gue tahu nggak ada alasan apapun yang membenarkan perbuatan gue di belakang Aimee selama ini.

"Aku emang bodoh, nggak punya otak, nggak punya hati. Terserah kamu mau bilang apa, aku terima..." dan tololnya, gue nggak bisa berhenti bicara. "Waktu kedua kalinya kamu keguguran, aku merasa kehilangan kamu dan kesepian." Harusnya gue berhenti di sini tapi tololnya gue malah tetap bicara, "Lalu saat itu Airin datang... aku buta, aku bodoh. Aku sadar aku salah lalu berusaha menjauhi dia, tapi semuanya terlambat saat Airin bilang dia hamil." Gue terus menunduk dengan tangan mencengkram kuat kedua lutut. "Setelah itu, aku nggak bisa ninggalin dia. Ninggalin mereka. Maafin aku, Sayang... maafin aku..."

Tidak ada satu katapun yang diucapkan Aimee, dia hanya terdiam untuk beberapa saat. Tapi tidak lama kemudian suara tangisnya terdengar. Tidak keras tapi terdengar begitu menyakitkan.

Espoir (Amour Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang