Espoir | 17 / re-write

17.6K 1.7K 296
                                    

Aimee

Bian merasa tidak nyaman karena hanya seorang diri menemaniku di ruangan ini. Awalnya aku meminta Bian menghubungi Windy untuk menggantikannya menemaniku di sini, karena ponselku masih tertinggal di rumah. Tapi aku ingat Windy pasti sudah di Semarang, di rumah mertuanya untuk persiapan acara lamaran Dania, adik Dion, suaminya.

Akhirnya dengan terpaksa, aku menyetujui ide Bian untuk meminta Bang Aiden datang menemaninya.

15 menit yang lalu Bian meminta ijin untuk Shalat Ashar di mushola rumah sakit, lalu tiba-tiba saja ketika Bian kembali ke kamar, isi kantung kemihku terasa penuh, mendesak ingin segera dikeluarkan. Bian yang sadar ada yang aneh denganku bertanya, "Lo kenapa, Bulet?"

"Hmm, nggak apa-apa." Kilahku. Tidak mungkin kan aku meminta Bian untuk menggendongku ke kamar mandi. Aku bertekad akan menahannya sampai Bang Aiden datang nanti.

"Beneran? Muka lo pucet gitu sama keringetan. Ada yang sakit?" Baru saja akan menjawab tidak, tapi rasanya malah semakin ingin. Aku meringis dan Bian menyadarinya. "Bulet? Lo kenapa?" Bian terlihat sangat khawatir.

"Pengen pipis, Bi," jawabku berbisik.

"Yaudah. Yuk!" Bian bergegas mematikan aliran selang infus lalu melepas labu infusan dari tiangnya sebelum mengulurkan tangan kanannya padaku.

"Gue... nggak boleh jalan." Jelasku kikuk. Bingung memilih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Bian.

"Ah, iya. Gue lupa, lo kan nggak dipasang catheter. Terus biasanya gimana? Panggil suster ke sini?"

Aku menggeleng, "Biasanya Sehan atau Abang yang gendong."

"Hah?" Bian menatapku terkejut selama beberapa detik, lalu ia seperti berpikir sebelum berkata dengan yakin, "Yaudah, yuk!" Tabung infus Bian simpan di pangkuanku sebelum ia menunduk mendekat, lalu tanpa aba-aba mengangkat tubuhku. Spontan aku yang sangat terkejut melingkarkan tangan kananku di belakang lehernya, sementara tangan kiriku memegang tabung infus dengan kuat.

"Hehehe... maaf."

Aduh! Jujur saja canggung sekali. Wajah kami kini hanya berjarak beberapa senti.

"Berat ya?"

"Banget. Hehe, enggak atuh. Nggak berat kok, lo ringan, seringan kapas hehehe..."

Aku hanya cemberut menanggapi jokes garingnya itu.

Maaf ya, Bi.

Jika saja tidak dalam keadaan canggung seperti ini, aku pasti akan tertawa lepas pada jokes garingnya itu, seperti biasanya.

Lalu entah kenapa semuanya seperti melambat dan aku hanya mematung terpaku pada sisi wajahnya dan tiba-tiba saja, "Fabian..." Ucapku pelan.

"Hmm? Kenapa, Bulet?"

Bulet. Kata itu sangat tidak nyaman didengar saat Bian mengucapkannya.

"Jangan panggil gue Bulet lagi!"

"Kenapa? Pipi lo kan masih bulet."

"Itu kan panggilan sayang lo dulu buat gue."

Langkah Bian terhenti tepat di depan pintu kamar mandi, tapi Bian tidak segera menurunkan aku atau membukakan pintu untukku melainkan hanya menatapku.

"Kan sekarang juga masih sayang."

"Bian!! Apaan sih!?" Aku tersentak kaget mendengarnya.

Bian tersenyum lalu berkata, "Cuma gue aja yang sayang nggak apa-apa kan?"

"Ih, nggak lucu, Bi! Cepet turunin!" Aku mencubit pelan pundaknya.

"Siapa yang ngelucu? Dari dulu kan gue emang sayang sama lo, Bulet. Selalu sayang lo. Nggak apa-apa lo nggak sayang lagi sama gue dan nggak boleh. Biar gue aja yang terus sayang sama lo. Ya?"

Espoir (Amour Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang