Aimee
Diakui atau tidak, cinta untuknya tetap ada. Sekeras apapun aku menyangkalnya, sekuat apapun aku mengusirnya.
Satu sisi dalam diriku tidak ingin Sehan pergi, menginginkannya tetap di sini menemani. Tapi sisi diriku yang lain keberatan dengan kehadirannya, menginginkan kepergiannya. Satu sisi dalam diriku merindukan hangat peluknya, satu sisi diriku yang lain berontak menolaknya saat ia mendekat.
Aku bingung sendiri.
Aku benci dan jijik jika bayangan Airin selalu hadir setiap ia mendekat. Seperti saat bibirnya menyentuh kening, hidung dan bibirku pagi tadi. Jika saja Ibu dan Aiden tidak ada di sini, aku pasti sudah mendorong tubuhnya menjauh.
Aku sangat-sangat membencinya saat ini, tapi aku sadar jauh dilubuk hatiku yang terdalam, aku masih sangat mencintainya.
Dari tadi Ibu terus saja bercerita tentang arisan kemarin malam di rumah. Ibu bilang saat jam besuk nanti keluarga dari Solo akan datang ke sini menjengukku. Aku bahagia mendengarnya karena sudah lama tidak bertemu dengan mereka setelah Natal tahun lalu. Mungkin bertemu dengan mereka bisa membuatku melupakan sejenak masalah dengan Sehan.
Sementara aku dan Ibu mengobrol, Abang sudah tertidur pulas di sofa. Kata Ibu, Abang tidak tidur semalaman. Habis main PS dengan sepupu-sepupu kecil dari Solo.
Dasar Abang, umurnya sudah kepala tiga tapi masih saja tidak bisa lepas dari PS seperti anak-anak. Sepertinya tidak akan ada yang percaya jika pria pecicilan yang hobinya tidur itu, yang kebetulan berusia 36 tahun itu bekerja sebagai pilot yang bertanggung jawab atas ratusan nyawa setiap bekerja.
Suara pintu terbuka menghentikan obrolanku dengan Ibu. Oh iya, aku baru ingat jika sekarang sudah tiba waktunya visit dokter.
Tunggu, mataku mengerjap tidak percaya melihat sosok yang muncul dari balik pintu.
"Selamat pagi..." sapanya pada kami.
Bukan suara lembut Dokter Diana yang menyapa kami, tapi suara berat seorang dokter pria yang tidak asing untukku dan Ibu.
"Loh Bian?" Ibu juga terkejut saat sosoknya semakin mendekat.
"Tadi aku kaget waktu baca map atas nama Aimee Regina Nasution. Ini Egi yang sama yang aku kenal nggak ya? Tapi aku langsung yakin itu Egi pas liat nama suaminya." Jelas Bian pada Ibu setelah mencium punggung tangan Ibu. "Tante apa kabar?"
"Baik, Sayang. Udah lama nggak main ke rumah nih. Sibuk ya?"
"Iya, Alhamdulillah, aku praktek di empat rumah sakit sekarang. Di RSPI ini baru masuk bulan kedua jadi masih penyesuaian hehe."
"Puji Tuhan... hebatnya anakku." Puji Ibu sambil mengelus lengan Bian.
"Makasih tante pipi aku udah pink nih kayaknya.» Ucap Bian membuat kedua perawat di belakangnya, Ibu, juga aku tertawa. "Loh Aiden juga lagi di sini?" Tunjuk Bian pada Abang yang masih pulas di sofa.
"Iya, lagi jadi supir tante dulu dia beberapa hari ini."
"Ooh.." kemudian Bian berjalan ke arahku.
Pria bernama Bian yang sejak tadi ngobrol dengan Ibu ini adalah sahabat Abang sejak SMA yang juga sudah Ibu anggap seperti anak sendiri. Dulu Bian sering sekali menginap di rumah, pernah sampai seminggu, hingga membuat Neneknya khawatir menyusulnya ke rumah, memaksa Bian pulang.
Bian memang tinggal dengan Neneknya, orang tua Bian sudah bercerai semenjak Bian duduk di kelas enam SD dan Ibunya bekerja di kedutaan besar Indonesia yang ada di Paris, sementara Ayahnya sudah menikah lagi dan tinggal bersama keluarga barunya di Surabaya, kota kelahiran Bian. Bian juga sudah menganggap Ibu seperti ibunya sendiri, makanya Bian masih sering main ke rumah sampai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Espoir (Amour Series #1)
Chick-Lit(Completed) Delapan tahun menikah, delapan tahun menanti buah hati, tiga kali kehilangan mereka satu persatu, Aimee tidak pernah berpikir ada yang salah dengan pernikahannya. Sampai suatu waktu seorang anak perempuan berumur tiga tahun memanggil sua...