ALDER's Point of View
"Enak banget ya jadi boneka itu."
"Kenapa?" Tari menatap gue bingung.
"Dipeluk lo."
Yang gue lihat selanjutnya adalah Tari membuang muka ke arah lain. Gue terkekeh pelan melihatnya salah tingkah. Padahal gue nggak bermaksud ngasih kode atau semacamnya supaya dipeluk sama dia. Gue cuma refleks bicara seperti itu.
Dia berdeham. "Ya udah, nih." Dia memberikan boneka pandanya dan gue terima. "Peluk boneka aja. Gue nggak bisa peluk lo soalnya."
Polos sekali dia berkata, buat gue jadi gemas.
"Lo pikir gue ngode supaya dipeluk sama lo gitu?"
Dia mengangguk.
"Hahaha. Lo polos banget, sih?"
Baru pertama ini gue kenal cewek-super-polos seperti Tari. Dan baru pertama ini gue ngajak nge-date seorang cewek ke pasar malam. Gue kira Tari bakal marah dan kesal karena diajak ke tempat seperti ini, bukannya ke mall atau bioskop seperti orang nge-date pada umumnya. Ternyata enggak. Dia malah terlihat senang.
Awalnya, gue enggak ada niatan ngajak dia nge-date. Itu dia, karena status gue dan Tari hanya sebatas "pacar kontrak". Gue hanya sedikit enggak suka saat Aldo, anak kelas dua belas itu ingin mengajak Tari mengobrol dengannya. Entahlah sikap apa ini. Yang jelas gue nggak mau proses move on Tari buyar begitu aja. Gue nggak berharap lebih tentang kedekatan kami. Ini murni balas budi padanya karena dia udah ngebantu gue lepas dari mantan gue, Nadia.
Hanya, setelah beberapa bulan gue kenal dia, gue sedikit lebih banyak tahu tentang sifatnya. Dia terlihat berbeda dengan kebanyakan cewek di luaran sana. Dia selalu tampil apa adanya, enggak neko-neko, enggak jaga imej, dan dia terlalu polos. Dia mudah sekali percaya dengan omongan orang, terlampau jujur orangnya. Apa yang ada di pikirannya, akan dia katakan saat itu juga. Such a cute girl.
"Alder?"
Gue terkesiap saat Tari mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah gue.
"Lo ngelamun? Ngelamunin apa?"
"Lo mau permen kapas, nggak?" Sengaja gue ngalihin pembicaraan, supaya dia nggak bertanya lebih lanjut tentang apa yang tadi gue lamunin.
Dia terlihat berbinar dan langsung megang tangan gue. "Mau. Ayo beli!"
Dia menarik tangan kanan gue sambil berlari kecil karena ingin segera membeli permen kapas, sedangkan tangan kanannya megang boneka panda besar hadiah permainan memanah tadi.
Gue terkekeh melihat tingkahnya yang seperti anak kecil. Bahkan dia nggak memedulikan beberapa orang yang menatapnya dengan tatapan aneh. Sesekali dia nengok ke arah gue sambil tersenyum. Kedua matanya seakan menghilang ketika dia tersenyum. Too cute.
***
Setelah mengantar Tari pulang dengan selamat, gue langsung pulang dan mendapati adik gue, Adira, lagi menonton Shaun the Sheep. Dia masih kelas satu sekolah dasar.
"Hai, Dira," sapa gue sembari ngacak-ngacak rambutnya.
Gue melangkah menuju lantai dua, tempat di mana kamar gue berada. Gue jatuhin tubuh di atas kasur, menatap langit-langit kamar sambil tersenyum. Entah kenapa bayangan Tari yang lagi tersenyum terus berputar di otak gue, lalu beralih ke bayangan di mana Tari memakan permen kapas tadi.
Dia sangat lahap sekali memakan permen kapasnya, sedangkan gue hanya merhatiin gaya makannya yang seperti anak kecil.
Merasa dirinya diperhatikan, dia menoleh. "Lo mau?"
Gue menggeleng. "Enggak."
Dia menyobek permen kapasnya, "Nih, cobain. Enak tahu," menyodorkan ke gue.
"Enggak, ah. Lo aja yang makan."
Gue memang nggak terlalu suka sama makanan manis, makanya langsung nolak. Tapi, dia merengut.
"Alder, cobain dong, dikit aja, ya?" Dia malah memasang puppy eyes-nya.
Shit! Akhirnya gue ambil permen kapas yang dipegangnya lalu memakannya.
Dia tersenyum. "Nah, gitu dong. Gimana? Manis, 'kan?"
Astaga. Ada apa sama gue? Kenapa akhir-akhir ini pikiran gue selalu terisi oleh Tari? Gue juga bingung dengan perasaan gue saat ini. Gue belum bisa mendefinisikan perasaan sendiri. Perasaan yang masih abu-abu. Perasaan yang masih ambigu. Belum jelas.
Beberapa bulan mengenalnya, memang, gue nyaman. Walaupun sikap gue kadang berubah-ubah sesuai mood, tapi percayalah, gue bisa bercerita sedikit lebih banyak tentang masalah yang biasanya gue tutupi ke orang lain. Dan akhir-akhir ini, dia juga enggak seketus atau sejutek seperti pertama kali bertemu dengan gue. Dia menunjukkan sisi ceria dan mudah tersenyumnya yang bisa mengajak gue untuk ikut tersenyum saat melihatnya.
Gue nggak tahu kelanjutan hubungan kami akan seperti apa setelah "kontrak pacaran" ini berakhir. Bisa jadi kami berteman, bisa saja sahabat, bisa saja... ah, terlalu banyak bisa saja, dan gue mengasumsikan semua itu sendiri.
Gue meraih handphone di saku celana dan mengirim pesan pada Tari.
Me : Besok berangkat sekolah bareng gue.
Berselang semenit, muncul balasan darinya.
Tari : Oke. BTW, thanks ya buat boneka pandanya!!
Gue tersenyum.
Me : Urwell. Good night!
Gue lempar handphone ke sofa samping tempat tidur.
Bodoh! Lo kenapa, sih, Alder? Kenapa juga pake acara ngucapin selamat malem? Nanti si Tari ngira yang enggak-enggak lagi.
Gue ngacak-ngacak rambut. Guling-guling enggak jelas di atas kasur. Lalu, gue dengar notifikasi. Gue langsung lompat dan ngambil handphone.
Tari : Good night too, Alder.
Fix. Kali ini gue melompat-lompat girang mendapati balasan dari Tari. Namun, aktivitas melompat gue melambat, kemudian terhenti.
Gue kenapa?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...