Ma

9.1K 715 21
                                    

Happy Reading

¥oL•

"Lu hamil sama siapa?"

Pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Rafa membuat Brianna mengerang marah. Kurang ajar sekali pertanyaan itu. Melukai harga dirinya.

"Lu pikir sama siapa lagi yang selalu menghampiri dan meniduri gua hampir setiap hari?" Suara tidak bersahabat dari Brianna membuat Rafa bungkam. "Lu gak mikir ya?"

Rafa terdiam. Dia berpikir keras. Tidak ada yang tidur dengan Brianna, karena hanya dirinya saja yang selalu menikmati tubuh Brianna. Tidak ada satu priapun yang berhasil mendekati Brianna karena dia sendiri dengan senang hati akan menghajar habis-habisan semua cowok yang berani mendekati cewek berkulit sawo matang itu.

Dengan jawaban itu, Rafa merasa dunianya runtuh. Tidak menyangka bahwa ia bisa sampai kecolongan. "Tapi bagaimana bisa? Gua selalu kasih lu pil kb kan?" Rafa mencari pil kb yang selalu di simpan di laci dekat meja makan. "Lu selalu minumkan?" Botol kecil itu ia putar-putar. Di putar tutup botolnya lalu dikeluarkan semua pil tersebut. Ia kembali menghitung jumlah pil tersebut. Harusnya tersisa 13 pil lagi. Diteliti satu persatu, totalnya sama dengan hitungan dia.

"Lu pernah buang pil kbnya ya?"

Brianna menggeram marah. Ia tidak suka dituduh seperti ini. Tidak ada yang berhak menuduhnya, sedangkan pelakunya ada di depan mata.

"Rafa, gua selalu minum. Setiap hari bahkan gua udah bikin reminder di hp gua sendiri. Gua juga gak tau kalau gua bisa kecolongan." Brianna menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk yang berada di belakangnya.

"Gua gak bisa."

Mendengar suara Rafa yang frustasi setelah keheningan yang panjang membuatnya menoleh.

"Gua gak bisa bertanggung jawab dengan kondisi gua yang sekarang" Rafa mendongak dan melihat Brianna berkaca-kaca. Membuatnya semakin merasa bersalah telah mengucapkan kalimat itu.

Brianna tertawa pelan dengan air mata yang menetes. "Terus tunggu apalagi?" Tanya Brianna sambil berdiri. Ia merasa perutnya sedikit kram. "Lu masih tau arah pintu keluarkan?" Ia membuka pintu apartemennya secara lebar. "Keluar."

Dengan cepat Rafa menghampiri Brianna lalu menutup pintunya dengan sedikit paksa karena Brianna memegang pintunya dengan erat. Sekalian menyalurkan rasa sakitnya pada pintu yang tidak bersalah.

"Bri, kita bisa bicara secara baik-baik."

"Apa lagi yang mau dibicarain, Rafa?"

Pria di depannya terdiam dengan gelisah. "Kita gugurin aja kandungannya."

Brianna menajamkan pandangannya kepada Rafa lalu tertawa pelan. Terdengar seperti tawa yang menggelikan namun sinis. "Keluar!"

"Bri, please! We are too young to take care of a baby!" Ucap Rafa kembali membuatnya naik darah. Emosinya meletup-letup, wajahnya memerah, bukan karena tersipu melainkan kekesalan yang sudah ada dipuncaknya. "Bri, thinking again about this one."

"Kenapa gua harus mikirin apa yang udah gua perbuat bersama lu?" Teriakkan Brianna menggema di seluruh penjuru apartementnya yang sederhana.

Rafa mengacak rambutnya secara kasar. Lalu dia berbalik menuju kaca jendela yang menunjukkan jalan raya ibu kota yang siang hari ini begitu padat. Sama seperti dirinya yang memikirkan begitu banyak permasalahan. Sedangkan dari arah sofa, dada Brianna naik turun seiringan dengan emosinya yang meletup-letup. Tidak ada perasaan yang begitu menyedihkan dari ini.

Helaan napas Rafa terdengar begitu saja. Begitu perlahan namun dapat diartikan dengan rasa frustasinya yang begitu mencengkram dadanya. Pemikirannya begitu buntu, melayang.

The OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang