Juh

8.4K 641 48
                                    

Hujan di sore hari memang tidak menunjukan suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi. Tapi entah mengapa, Brianna berkhayal bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi melalui hujan ini.

Pemikiran Brianna berkelana. Tidak seperti yang ia bayangkan saat bertemu dengan Rosa serta Dirga, orang tua dari Rafa. Jika dalam situasi yang berbedan seperti sebelum-belumnya, mungkin ia bisa bersender manja ria dengan Rosa, atau menggoda Dirga dengan candaan ringan tetapi mampu membuat kedua orang tua itu tertawa. Namun sekarang di depannya ini hanya ada wujud manusia yang sudah memasuki fase setengah abad dengan wajah kaku.

Rafa duduk disebelahnya dengan berwajah kaku, sama seperti orang tuanya. Setelah menikmati tangisan kehancuran, ia baru bisa memperhatikan wajah Rafa yang sudah babak belur. Dengan sudut di kedua bibirnya berdarah dan beberapa lebam yang tercipta entah karena apa.

"Brianna."

Suara penuh ke-ibu-an itu membuatnya menegakan badan. Baru kali ini jantungnya berdetak begitu kencang. Situasi ini membuatnya tidak nyaman sama sekali. "Iya tante?"

Rosa meringis mendengar suara serak dari bibir Brianna. "Kamu baik-baik ajakan?"

"Tidak."

Kali ini Dirga yang meringis. "Maafkan Rafa, Brianna." Sesal Dirga menatap cemas Brianna. Cewek itu hanya mengangguk tipis.

"Brianna, apa.." Rosa menoleh ke arah suaminya, seakan ingin meminta izin untuk berbicara. Dirga hanya menganggukkan kepalanya. "Apa kamu sudah, hmm, menggugurkannya?"

Ditanya seperti itu, Brianna merasa sedih kembali. "Iya tante."

"Kenapa?" Tanya Rosa dengan hati-hati, takut menyakiti perasaan Brianna.

Brianna terdiam, menundukkan kepalanya sangat dalam. Ia tidak menyukai situasi ini. Tidak menyukai saat perasaan sedih itu hadir, perasaan kecewa dan juga sakit hati. Rasanya ia ingin memukul kepalanya yang terasa berat memikirikan semua ini. She just need to scream out.

Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menatap Rosa. "Karena setelah dipikirkan kembali, aku dan Rafa belum sedewasa itu untuk menghadapi semuanya." Hatinya teriris mengingat setiap perkataan ini. Entah mengapa perkataan itu menjadikan mantra untuk membunuh anaknya. Padahal ia sudah menyukai janinnya, membayangkan bahwa ia akan memiliki bayi kecil yang sudah pastinya lucu.

Dirga menghela napas, "Tapi kamu udah membunuh satu kehidupan yang ada di tubuhmu." Ujarnya dengan nada bergetar. Ia merasa kecewa dengan dua insan didepannya yang sudah tega membunuh keturunan Darmawadi.

"Aku hanya memikirkan gimana kalau nanti anak ini lahir tanpa tanggung jawab dan tanpa di inginkan oleh semua orang. Bukankah itu sama saja membunuh psikologisnya?" Tanya Brianna yang langsung membuat Rafa menegang. Jantungnya berhenti dan ia sekarang menyesal.

Melihat ketiga orang di sekitarnya menegang, Brianna memutuskan untuk diam. Menunggu siapa yang akan menjawab pertanyaannya. Dia tidak tahu apalagi yang harus ia lakukan. Bernapas pun terasa salah disini. Tangannya bergerak kecil, menandakan ia sedang berpikir.

"Saya sudah putuskan." Ucap Dirga yang kembali membuat semua orang memusatkan perhatiannya. "Kalian akan menikah."

Hati Rafa mencelos, ia merasa sangat terkejut dengan putusan sang ayah. Kenapa ini begitu mendadak? Ia masih belum siap. Untuk menjadi seorang kepala keluarga bukanlah hal yang mudah. Bukan perkara kecil, yang jika sudah bosan atau jenuh bisa ditinggalkan untuk sementara. Ini persoalan yang rumit. Namun Rafa tidak bisa menolak. Ini perintah, dan ia harus menjalankannya.

Brianna melihat Rafa. Untuk sekedar mengetahui ekspresi apa yang diperlihatkan Rafa. Saat Rafa menunjukkan ekspresi yang begitu kaku dan dingin, Brianna tahu bahwa cowok itu menolak tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya. "Aku tidak bisa." Ujar Brianna dengan muka sedih. "Aku tidak bersedia. Ini pernikahan tanpa cinta."

The OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang