Wa Las

2.7K 250 31
                                    

HAPPY READING, FELLAS! LAF U><

***

Rafa kehilangan Brianna.

Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Brianna bisa senekat ini. Padahal jika saja Brianna memohon untuk tetap mempertahankannya, ia bersedia agar cewek berkulit sawo matang itu tidak meninggalkan dirinya, juga keluarganya.

Entah apa yang ada di pikiran Brianna sampai melarikan diri seperti ini, tapi Rafa begitu merindukannya. Sampai ia tidak bisa hidup dengan tenang. Pikirannya terpusat pada Brianna, tubuhnya mendamba akan Brianna.

Shit!

Ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya begitu bergantung dengan Brianna. Apa mungkin karena efek sex yang sudah bertahun-tahun? Namun ia tidak pernah nafsu dengan cewek lain selain Brianna. Bahkan dengan pacarnya sekalipun, ia tak berniat untuk melakukan hal yang biasanya ia lakukan dengan Brianna.

Pacarnya selalu memberikan tanda ingin 'sedikit bermain'. Hanya saja ia selalu menolak dikarenakan benaknya selalu tertuju pada cewek sintal berkulit eksotisnya itu.

Lantas saat Brianna pergi, ia benar-benar kehilangan. Bahkan rasanya begitu menyesakkan. Sampai ia tidak bisa bernafas.

"Raf, gimana?"

Ia menoleh, menatap Inka yang baru datang dengan tangan yang penuh oleh tas laptop dan plastik. Rafa yakin cewek itu baru pulang kampus.

"Nothing" jawabnya singkat sembari tangannya mengetik sesuatu.

"Gua ga pernah setuju hubungan kalian." Tutur Lian.

Oh God.

Rafa selalu merasa kesal dengan ucapan-ucapan yang keluar dari mulut --brengsek-- Lian. Rasanya kata-kata yang diucapkan begitu tajam.

Inka melirik antara Rafa dan Lian yang saling melempar tatap. "Ok boys, is it not your time to fighting, right?"

Rafa menghela nafas. "Gua pun ga tau bakalan seperti ini kejadiannya."

"Kita gak ada yang tau kejadiannya kayak gini! Tapi hubungan lu dan Brianna itu salah!"

Inka berinisiatif menenangkan cowok berotot dengan wajah kotak yang begitu kental dengan mengusap dadanya, "Sssh, udah udah"

Lian meremas rambutnya yang ikal, "Lu harus buka mata lu, bajingan! Brianna itu punya rasa sama lu!"

Rafa membelalakan matanya, terkejut. "Gila gak mungkin banget! Kita cuman sahabatan." Bentak Rafa dengan emosi yang menggebu-gebu.

Hanya dia yang tahu Brianna. Dia yakin Brianna tidak mungkin suka kepadanya lebih dari sahabat.

"Lu beneran gak punya otak ya Raf?" Inka menggebrak meja. Membuat kedua cowok itu terkejut karena baru kali ini mereka melihat cewek selembut Inka bisa berteriak sekencang itu. "Kali ini gua setuju sama Lian. Lu bener-bener buta, ga punya perasaan, gila dan juga ga tau diri!"

Lian tercengang dengan ucapan Inka yang benar-benar tidak terduga. Baru kali ini ia mendengar kata-kata sadis dari mulut manis Inka. Lain halnya dengan Rafa yang menggeram kesal dengan ucapan Inka. Rasanya ia tidak terima di katai seperti itu.

"Gua ga tau apa yang buat lu bisa bicara kayak gitu. Tapi ga mungkin banget dia punya perasaan lebih sama gua!" Teriak Rafa.

Inka menghela nafas kasar, lalu melirik sekilas ke arah Lian. "Raf, didalam hubungan pertemanan antara cewek dan cowok, tidak ada kata sahabat. Ngerti?" Inka berdiri dari duduknya dan menatap kearah luar jendela. "Kayak gua sama Dino, dulu kita berkedok sahabatan. Cuman lu tau sendirikan ternyata salah satu diantara kami ada yang jatuh hati?"

Rafa terdiam. Dia tahu kisah cinta temen ceweknya yang satu ini. "Masa iya?"

"Halah, emang lu aja yang ga peka goblok!" Sahut Lian kesal. "Mana ada cewek yang mau ena-ena tanpa status tanpa bayaran kecuali tuh cewek hypersex atau ga suka sama tuh cowok yang pake tubuhnya?"

Inka menganggukkan kepalanya. "Sorry Raf, dengan lu nyuruh Brianna menggugurkan kandungannya sendiri. Lu udah kehilangan respek dari dia." Ujar Inka tersenyum kecut, membayangkan perasaan sahabatnya saat mendengarkan ucapan brengsek Rafa yang tidak pernah tersaring dengan baik. "Dan kalopun dia kembali di antara kita, I swear, she will refuse you.

Rafa menggeram. 

Tidak akan pernah bisa ia membayangkan semua hal itu terjadi. Sialan. 

Rafa tidak bisa hidup tanpa Brianna! 

***

"Na!" 

Chanie memanggil pelan namun tegas saat Brianna hanya sedang melamun di pinggir jendela, menatap pemandangan luar yang begitu asri. Ini sudah menjelang pukul 8. Disaat kehidupan mereka yang beberapa waktu masih terlihat normal, mereka di jam segini sedang heboh ingin memakai baju apa untuk pergi ke bar atau cafe yang mengadakan live music. Namun sekarang, mereka hanya saling berdiam diri di rumah. Tidak bisa pergi kemanapun, karena Brianna enggan keluar rumah sedikit pun. 

Brianna hanya di dalam kamar saat malam hingga pagi. Lalu keluar kamar hanya sampai batas ruang tamu kecil yang ada TV sebesar 31 inch. Kadang di hidupkan, kadang tidak. 

Chanie menghela napas pelan, bingung mau menjelaskan bagaimana ke Brianna. Ia melamar pekerjaan ke salah satu hotel di kota ini dan ternyata dia dipanggil untuk melakukan wawancara. Sebenarnya, Chanie punya cukup uang untuk membiayai mereka berdua sampai Brianna melahirkan. Namun, cewek berambut ikal itu tidak dapat bergantung dengan tabungan tersebut. 

"Gua ada panggilan kerja." 

Akhirnya Brianna menoleh ke arah Chanie. "Lu mau kerja?" 

"Iya, kita butuh tabungan sampai lu melahirkan." Ujar Chanie santai. "Lu mau gimana kedepannya? Lu mau ngebesarin anak ini atau gimana?" 

Mendengar ucapan dari sahabatnya, Brianna merenung. Memainkan jemari-jemari yang sedikit gembul dari jemari cewek lainnya. "Iya, ngebesarin." ucapnya sedih, "sendirian." 

Hembusan napas panjang keluar dari mulut Chanie. "Berdua! Enak aja, dia juga anak gua ya!" Chanie mengklaim anaknya yang masih berbentuk gumpalan darah dengan emosi. "Kan dari jaman dulu kita temenan, udah janji kalo salah satu dari kita punya anak duluan, itu juga bakal jadi anak kita. Pokoknya, lu ga usah khawatir yang aneh-aneh deh ya." 

Brianna tersenyum. Reaksi Chanie sungguh wajar, dimaklumi karena ia mengetahui bahwa sahabatnya itu anak tunggal. Tidak pernah suka di rumah, karena terlalu sepi. Orang tuanya sibuk. Pulang hanya sebulan sekali lalu mereka pergi lagi meninggalkan dirinya dengan seorang ART yang sudah mengabdi hampir 15 tahun. 

"Chanie, kayaknya gua ga bisa bertahan di Indo terlalu lama." Brianna memikirkan ini dari kemarin. "Lingkungan kita juga kurang baik buat psikis anak gua nantinya." 

"Then, kita mau kemana? Jangan suka aneh-aneh deh." 

"Australia" 

"Hah?" 

Chanie memiringkan sedikit kepalanya. "Kita mau ke Australia?" 

Brianna mengangguk cerah. "Gua punya saudara sepupu jauh yang tinggal disana sendiri. Dia udah cukup dewasa buat nampung gua sementara disana sampe melahirkan." 

"Bri, lu tau ga? Akhir-akhir ini lu diem aja kayak patung, sekalinya ngomong langsung aneh." 

Cewek berbadan sintal itu menghiraukan ucapan Chanie. "KITA KE AUSTRALIA! YES!" 

***

ADA APA SIH? LAMA YA NUNGGU UPDATE, GAJELAS EMANG AUTHOR KAYAK AKUH INI! 

Tadinya udah punya rencana buat gua unpublish gitu deh, tapi ga tau kenapa ga mau di unpublish(?)

Kira-kira kalian masih ada yang nunggu cerita ini ga sih? HEHEHE BINGUNG EUY

POKOKNYA JANGAN LUPA VOMENT YA!


The OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang