Suara ketukan pintu membangunkanku dari mimpi indah ini. Mimpi di mana Lee Jong Suk sedetik lagi akan menciumku. Siapa, sih, yang tak bahagia akan dicium oleh oppa Korea yang satu ini, walau hanya di dalam mimpi?
Dengan mata yang masih mengantuk, kubuka pintu kamar. Sebelumnya aku sempat melirik jam weker, dan ternyata masih jam enam kurang lima belas menit.
"Kenapa, Rian? Ganggu aja, deh. Padahal sedetik lagi Lee Jong Suk mau cium Kakak tahu." Masih dengan suara serak khas orang bangun tidur, aku mendapati Rian berdiri di hadapanku.
"Yaelah, cuma di mimpi, bukan di dunia nyata, Kak. Udah, cepetan mandi. Di bawah udah ada Kak Alder, tuh."
Aku membulatkan mata. Baru ingat bahwa Alder akan menjemputku pagi ini. Harusnya aku bangun lebih awal. Bisa dikatain kebo nanti sama si Alder.
"Ya udah, sana. Kakak mau mandi dulu."
Aku langsung menghadiahi Rian dengan bantingan pintu, tanpa peduli dengan omelannya yang khas itu. Yang penting sekarang adalah aku harus mandi. Ya. Mandi.
***
Dua puluh menit kemudian, aku sudah siap. Dengan tas tersampir di bahu kanan, aku menuju ruang tamu, di mana Alder berada. Kulihat Alder sedang mengobrol dengan Ibu. Aku menghampiri keduanya.
"Kebetulan Tari udah siap. Ya udah, yuk, sarapan dulu."
Alder menoleh padaku.
"Kayaknya kita sarapan di kantin sekolah aja, deh, Bu, takut telat." Tak ingin diinterogasi oleh Ayah, Ibu, dan Rian tentang hubungan kami, aku sengaja tak mengiyakan ajakan Ibu.
"Loh, belum jam tujuh kok, jadi sarapan di sini bentar, ya?"
Aku memberi kode pada Alder untuk menolak ajakan Ibu.
Dia berdiri. "Aku mau banget sarapan bareng Tante di sini, tapi aku baru inget kalo ada tugas yang harus dikumpulin pagi ini. Jadi, kita nanti sarapannya di kantin aja, Tante."
Bagus. Alder memang pandai mengarang cerita.
Ibu mengangguk paham. "Oh, ya udah kalo gitu. Tapi jangan sampai lupa ya, sarapan dulu. Kan belajar juga butuh tenaga."
"Iya, Tante, tenang aja," jawab Alder sopan.
Aku menyalimi Ibu. "Berangkat dulu, Bu."
"Iya, hati-hati di jalannya."
Alder pun melakukan hal yang sama.
Setelah berpamitan, aku dan Alder menuju motor Alder yang ada di depan pagar. Alder menyerahkan helm padaku, dan aku langsung memakainya lalu naik ke atas motor.
"Lo kepagian tahu jemputnya."
Alder menoleh. "Lo-nya aja yang kebo. Udah kebo, dandannya lama lagi."
What? Sifat jutek Alder balik lagi? Padahal baru semalam dia bersikap sweet padaku. Pepatah memang benar. Sikap dan perasaan selalu berubah setiap detiknya.
"Apa? Lama? Itu gue udah buru-buru kali. Sampe pake bedak aja ngasal. Untung nggak belepotan." Aku meraih handphone-ku untuk bercermin.
"Lo nggak perlu pake bedak, nggak perlu pake lipstik. Lo udah cantik."
Aku beralih melihat ke kaca spion. Alder pun melakukan hal yang sama. Walaupun dia memakai helm, aku masih bisa melihat kalau dia tersenyum tipis.
Segera kualihkan pandangan, menepuk pundaknya.
"Udah, cepetan berangkat. Takut telat."
Aku berdeham, menetralkan suaraku, atau ekspresiku? Atau semuanya?
***
Sesampainya di sekolah, kami langsung menuju kantin. Tak ada banyak orang di sini. Kami langsung duduk di dekat penjual bubur ayam.
Alder berdiri. "Gue pesen dulu."
Aku mengangguk. Jariku mengetuk-ngetuk pelan meja, menunggu Alder datang dengan bubur ayam di tangannya. Seketika, aku merasa seperti ada yang memperhatikanku, mataku beralih mengelilingi seluruh kantin dan aku menemukan seorang cowok yang tengah duduk di kursi bagian pojok kantin.
Tak masalah jika dia duduk tenang di sana dan tidak memperhatikanku terus seperti sekarang ini, tapi dia tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dan aku merasa sedikit terganggu oleh tatapannya itu.
Aku memastikan, apakah ada orang lain di belakangku, ternyata tak ada. Kulihat cowok itu lagi. Kali ini dia tersenyum sambil melambaikan tangan kanannya padaku.
Siapa, sih, dia?
"Lo liatin apa?" Pertanyaan Alder mengalihkan pandanganku dari cowok itu.
"Enggak, kok, nggak liatin apa-apa."
Alder duduk di hadapanku dan menyodorkan semangkuk bubur ayam. "Ya udah, nih, makan." Kemudian Alder memakan lahap bubur miliknya.
"Makasih," ucapku.
Sedetik kemudian, aku mendongak sedikit untuk memastikan apakah cowok itu masih memperhatikanku atau tidak. Namun, tempat itu sudah kosong. Cowok itu sudah pergi ternyata.
Tak ingin memikirkannya lebih lanjut, aku melahap bubur ayam milikku.
***
Ketika bel istirahat kedua berbunyi, Hana langsung menghampiriku.
"Ke musala, yuk, Tar."
Aku mengernyit. "Belum azan, loh, Han."
"Ya nggak pa-pa, kita duduk-duduk dulu di sana, kan adem tuh."
"Sarah sama Risma ke mana? Tumben langsung ngacir pas bel bunyi," tanyaku yang melihat Risma dan Sarah sudah tak ada di kelas.
"Biasa, ke toilet. Nanti mereka nyusul, kok. Udah yuk, cepetan." Hana menarik tanganku, aku pun mengikutinya.
Di perjalanan menuju musala, Hana bertanya, "Gimana hubungan lo sama si Alder, Tar?"
"Ya gitu. Kenapa emang?"
"Nggak pa-pa, sih. Emang kapan hubungan pacar kontrak lo abis?"
Aku lupa menceritakan tentang ini pada ketiga sahabatku.
"Alder manjangin kontraknya jadi tiga bulan lagi. Dia tahu kalo gue lagi proses move on dari Kak Aldo, makanya dia mau bantu gue. Kayak hubungan timbal balik gitu, deh. Gue bantuin dia, dan dia bantuin gue," jelasku.
"Gue, sih, dukung-dukung aja soal itu. Tapi lo harus hati-hati." Hana menggantungkan kalimatnya.
"Hati-hati kenapa?"
"Hati-hati baper. Hahaha."
Aku mendengkus.
Kami sudah sampai di musala, lalu duduk dan membuka sepatu.
Hana berceletuk lagi, "Tapi bener ya, Tar, lo harus hati-hati, jangan sampe baper ke si Alder. Bisa rumit nanti."
"Iya, iya," jawabku saat sedang ulet membuka tali sepatu.
"Belom azan kali, udah mau salat aja," celetuk seseorang.
Aku dan Hana sontak mencari sumber suara. Cowok itu... ah iya, itu cowok yang tadi pagi di kantin. Dia duduk menyender di sebuah pilar, yang jaraknya sekitar lima meter dari kami. Cowok itu menatap ke arah kami.
"Apaan, sih. Suka-suka kita, lah. Iya, kan, Tar?"
Aku mengangguk mengiyakan ucapan Hana.
"Yuk, ah, masuk, Tar."
Aku mengekor di belakang Hana. Namun, entah kenapa aku ingin menoleh ke tempat di mana cowok itu berada. Dia masih di sana. Dan lagi, dia tersenyum padaku.
Siapa dia?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...