Lynne memandang langit malam yang tampak cerah karena ada bintang yang berkelap-kelip. Ia menghela napasnya beberapa kali sambil memikirkan kejadian yang menimpanya tadi siang.
Flasback
"Kau akan kubayar, 25 juta perbulan, tapi kau harus menjadi tunangan palsuku sekaligus sekertarisku." Gabriel mengendurkan dasinya dan menatap Lynne intens, "aku butuh tunangan untuk menutupi rumor gay sialan itu, dan lagi aku butuh sekertaris agar jam kerjaku bisa berkurang walau sedikit."
Lynne terdiam karena bimbang. Well, dia bukannya tidak tertarik. Justru, ia sangat tertarik dengan tawaran gila Gabriel. Dua puluh lima juta dalam satu bulan?! Itu lebih dari cukup untuk membiayai biaya rumah sakit Judith. Tapi, Lynne jadi ragu karena ... menjadi tunangan palsu Gabriel berarti ia akan berinteraksi banyak dengan lelaki itu. Apa lagi menjadi sekertarisnya. Saat ini saja, Lynne sudah kalah telak dengan pesona Gabriel, padahal lelaki itu tidak melakukan apa-apa. Lantas, bagaimana nasibnya nanti?
"Jadi bagaimana, Ms. Dawn?" tanya Gabriel dengan suara seraknya. Mata biru milik Gabriel memandang Lynne lekat, seakan menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"A-aku mau," jawab Lynne pada akhirnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti, tapi satu hal yang pasti ... Lynne akan mencoba menghapus perasaan gila ini secara perlahan-lahan.
Berdasarkan perjalanan cinta Margo yang telah Lynne amati selama ini, ternyata jatuh cinta itu bukanlah hal yang buruk. Meskipun baru kali ini Lynne memiliki suatu perasaan yang berbeda dengan lawan jenisnya, tapi ia yakin ... ini rasa suka. Ia tidak pernah sebegini terpesonanya dengan laki-laki, ini kali pertama. Tapi, perasaan takut juga muncul seiring dengan perasaan suka. Bukan, bukan takut untuk jatuh cinta pada Gabriel, tapi, Lynne takut ... menjadi satu-satunya pihak yang jatuh cinta, sedangkan Gabriel tidak.
Oh Tuhan, berstatus tunangan dengan Gabriel membuat kupu-kupu serasa berterbangan di perut Lynne. Meskipun hubungan mereka palsu, tapi Lynne merasa seperti sedang bermain game. Game dimana ia harus menjalin hubungan, tapi ia tidak boleh jatuh cinta.
"Bagus, tuliskan kontrak itu dengan tulisan tanganmu sekarang. Nanti pegawaiku akan mengurus kontrak aslinya besok," ujar Gabriel tenang, "ah, iya, aku harap kau tidak terlambat esok. Aku tidak menyukainya."
Lynne mengangguk paham, "Baik, aku mengerti." Gadis itu menulis kontrak sesuai dengan yang sudah di sepakati oleh keduanya. Setelah menge-cap kontrak tersebut dengan sidik jarinya, Lynne berdiri dan menggamit tasnya yang berada di ujung sofa, "Kalau begitu, aku pamit dulu."
Gabriel mengangguk mempersilakan Lynne untuk meninggalkan ruangan. Tapi, baru saja Lynne berjalan beberapa langkah, Gabriel kembali memanggil namanya sehingga langkah gadis itu terhenti, "Ah, satu lagi, jangan pernah berkhianat dariku jika kau tidak mau mati dalam lemari pembeku."
***
Mengingat ucapan Gabriel sukses membuat Lynne merinding. Entah kenapa, ia merasa aura Gabriel langsung berubah ketika lelaki itu menyebut kata 'mati'. Seakan, ia bukanlah lelaki yang sama dengan yang menawarinya pekerjaan.
Ting tong~ Ting tong~
"Lynne! Si psiko gila itu terus-menerus menekan bel sedaritadi!" Margo berteriak dari luar kamar. Gadis itu tampaknya berlarian karena Lynne bisa mendengar derap langkah kaki dengan tempo cepat tengah menuju ke arah kamarnya, "Lynne, apa kau dengar aku?"
Gadis dengan rambut blonde yang tercepol itu memberengut saat mendapati sahabatnya tengah memandanginya bingung. Dengan kesal, Margo berkacak pingang sambil memandang Lynne sebal, "Apa yang terjadi pada wawancara kalian sebenarnya? Oh astaga, aku tidak tahan lagi. Kenapa kau tampak aneh setelah pulang dari Wallance's group? Lalu apa yang salah dengan bajingan itu? Rasanya jarinya pengin ku patahkan menjadi seribu bagian karena terus-menerus menekan bel sedaritadi."
Lynne menghela napasnya lesu sambil mengalihkan pandangannya pada langit lagi. Gadis itu masih kesal dengan Robert karena ternyata lelaki itu mengikuti wawancara setelah ia keluar dari toilet. Lelaki itu pikir Lynne tidak akan menungguinya, jadi ia ikut wawancara sendirian. Uhm, ya meskipun Lynne sudah mendapat perkerjaan yang jauh lebih besar gajinya, entah kenapa ia masih kesal dengan Robert yang meninggalkannya.
"Aku tidak ada masalah, Ar, aku akan mulai bekerja di Wallance besok," sahut Lynne tenang tanpa memusingkan Robert yang memang terus-menerus menekan tombol bel. "Aku sedang tidak mau bertemu dengan Robert, itu saja."
Ting tong~ Ting tong~
Ting tong~ Ting tong~
Ting tong~ Ting tong~
"For god sake, jika dia menekan bel satu kali lagi, maka ku pastikan kata-kata kasarku akan mendarat di wajahnya." Margo memejamkan mata sambil menahan amarahnya yang mulai memuncak. Gadis dengan piyama pink itu tampak sangat kesal dengan sikap Robert, sampai-sampai ia tidak sadar kalau Lynne bilang ia akan bekerja di Wallance besok, padahal wawancaranya baru dilakukan hari ini.
Lynne terkekeh, sama sekali tidak terganggu dengan suara bel itu. Gadis itu sudah menyetel musik pop yang kencang sebagai tameng.
Ting tong~ Ting tong~
"Asshole," umpat Margo sambil mengepalkan tangan. Gadis dengan rambut blonde yang tercepol itu berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal. Lynne mengikuti langkah Margo dari belakang, tapi saat gadis itu hendak membuka pintu, Lynne malah bersembunyi di tempat yang tak terlihat oleh Robert.
"Heh! Apa kau tidak tahu etika hah? Ini sudah malam dan kau menekan bel rumah kami terus-menerus? Kau gila?!" cerca Margo sesaat setelah pintu itu terbuka. Margo memang tampak menakutkan saat marah. Lynne tidak pernah berniat untuk mencari masalah pada gadis itu ketika emosi tengah menguasainya.
"Apa Lynne ada? Aku ingin berbicara padanya." Mengabaikan ucapan Margo, Robert malah bertanya balik. Lynne refleks berjalan menjauh dari pintu masuk saat namanya di bawa-bawa oleh lelaki itu.
"Eh orang gila, mesum dan sinting dari sebelah, Lynne gak ada di sini! PERGI SANA!" usir Margo galak. Lynne membelak melihat kelakuan Margo yang sudah kelewat batas menurutnya. Apa Margo benar-benar kehilangan akal? Ke mana Margo yang takut dengan Robert selama ini?
"Tapi--"
"Jangan bunyikan bel lagi, mengerti?!"
Margo membanting pintu itu keras setelah menyelesaikan ucapannya. Gadis itu mendengus sambil menggerutu. Alisnya bertaut menjadi satu saat mendapati Lynne tengah bersembunyi.
"Jadi daritadi kau disini?" Margo memutar bola matanya malas dan menarik Lynne menuju kamarnya, "ceritakan apa yang terjadi hari ini."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[#W1] That devil is my CEO (COMPLETED)
Romance[Follow dulu untuk kenyamanan bersama🙏] cerita ditarik sebagian demi kepentingan penerbitan. ⚡WALLANCE BOOK ONE⚡ --- Gabriel Wallance, anak bungsu dari Wallance's Group. Tidak pernah muncul ke publik, bahkan enggan menyapa karyawan karena rasa mala...