"So tell me, where shall I go?
To the left, when nothing's right?
Or to the right, when nothing's left?-Gabriel Steve Wallance-
***
Fanny mengetuk pintu kamar Gabriel untuk kesekian kalinya malam itu, setelah merasa aneh karena anaknya mengurung diri untuk waktu yang lama sekali semenjak Lynne pergi. Iya, Fanny tadi melihat calon menantunya itu pergi dengan air mata yang berlinang, dan saat ia mau bertanya pada Gabriel lelaki itu malah marah, mengusir semua orang yang ada di sana untuk menjauh, kemudian menutup pintunya.
Awalnya semuanya terasa biasa saja. Pertengkaran adalah hal yang wajar, atau mungkin dibutuhkan karena ... tanpa perselisihan suatu hubungan akan terasa hambar.
Iya, setidaknya itu yang Fanny pikirkan tadi sampai firasat buruk tiba-tiba menyerangnya, setelah Gabriel tidak keluar dari pagi sampai malam.
"Ini, Nyonya." Seorang pelayan memberikan Fanny kunci cadangan untuk kamar Gabriel. Fanny menerimanya dengan tangan yang agak bergetar, lalu berusaha memasukan kunci itu pada pintu.
Tidak bisa.
Kunci itu tidak bisa masuk ke dalam pintu karena masih ada kunci lain yang melekat dari dalam. Sehingga ... tidak ada pilihan lain, mau tak mau Fanny harus mendobrak pintu. Atau memaksa Gabriel keluar dari sana.
Tok tok tok!
"Gabriel! Buka pintunya!!" Fanny berteriak kencang agar Gabriel dengar. Meski sedaritadi lelaki itu tidak melakukan gerakan apa-apa yang menimbulkan suara. Pikiran Fanny tiba-tiba saja kembali tertuju pada kejadian 15 tahun silam, ketika ia nyaris kehilangan kedua anaknya ... karena sahabat Richard sendiri.
Waktu itu, Fanny masih tidak menyangka kalau sahabat Richard tega melakukannya. Menculik dan menyiksa Daniel serta Gabriel, hingga kedua anak itu sempat trauma sampai harus dirawat ke psikiater untuk menyembuhkan mentalnya.
Dan saat ini entah kenapa rasa takut itu kembali, hingga wanita paruh baya itu terasa lemas di sekujur tubuh. Dia enggan berpikiran buruk, tapi keadaan memaksanya. Dan tiba-tiba saja, Fanny merasa ingin menangis.
"KALAU KAU TIDAK BUKA, M-MAMA AKAN DOBRAK!" ancam Fanny lagi dengan suara yang bergetar, menahan tangis. "M-mama akan minta Ron membuka pintu ini!" Fanny meneriakan salah satu nama bodyguard dengan badan terbesar dan tenaga terkuat di kediaman Wallance.
Masih hening. Dan sekarang ketakutan Fanny semakin menjadi-jadi. Feeling-nya sebagai seorang ibu tiba-tiba bersuara ... seolah memberitahu kalau anaknya sedang berada dalam bahaya. Dan seakan mengasih peringatan untuk segera mendobrak pintu ini.
Tuhan ... ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi pada Gabriel?
Dia ... tidak melakukan hal bodoh kan?
Dan dalam beberapa detik, Fanny sudah berlarian ke arah depan untuk mencari Ron sesegera mungkin. Tidak memedulikan para pelayan yang menatapnya aneh, karena pikirannya sudah menjalar ke mana-mana. Keselamatan Gabriel adalah yang terpenting ... dan Fanny harap anaknya tidak melakukan sesuatu yang bodoh.
Ia tidak bisa mendobrak pintu itu sendirian. Richard sedang pergi ke Belgia untuk keperluan bisnis, jadi lelaki itu sama sekali tidak bisa dihubungi untuk sementara waktu.
Setelah memanggil Ron, Fanny langsung kembali ke depan pintu kamar Gabriel dengan napas yang terengah-engah. Jantungnya berdebar kencang, dengan ritme yang tak lagi normal. Matanya nyaris berair karena ketakutan serta perasaan buruk yang terus-terusan menyerangnya. Rasa takut ini ... mirip dengan perasaan yang Fanny rasakan 15 tahun silam. Atau mungkin sama persis? Ah, ia tidak tahu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[#W1] That devil is my CEO (COMPLETED)
Romance[Follow dulu untuk kenyamanan bersama🙏] cerita ditarik sebagian demi kepentingan penerbitan. ⚡WALLANCE BOOK ONE⚡ --- Gabriel Wallance, anak bungsu dari Wallance's Group. Tidak pernah muncul ke publik, bahkan enggan menyapa karyawan karena rasa mala...