Ruang 5

165 18 33
                                    

Jika rasa itu benar sayang, yakinkan aku. Namun jika bukan, kumohon jangan beri aku pengharapan terhadapmu.

•••

Percaya nggak percaya. Cinta pada pandangan pertama itu memang benar adanya. Ya, kurasa begitu. Aku tahu ini terlalu cepat untuk menyimpulkan, tapi selepas pergi dengan Bayu tempo hari aku jadi sering kepikiran sama dia. Sikap dia yang, ah baru kenal udah perhatian gitu. Atau jangan-jangan memang bawaan dia dari sananya, yang selalu perhatian sama orang-orang sekelilingnya? Huh?! Entahlah. Bisa jadi aku yang terlalu baperan, karena sudah lama menjomlo.

"Phia!" teriak Mama. Suara mama yang tak merdu itu menggelegar ke seluruh penjuru rumah. "Sarapan dulu, biar ada tenaga."

Aku yang memang sudah kelaparan, lantas beranjak turun menemui mama. Baru saja duduk, sudah ditodong sebuah pertanyaan yang membuat perasaanku tak enak. "Phia, jadi kapan dia mau datang lamaran ke sini?"

Aku sontak kaget, "dia siapa, Ma?"

"Yaelah. Itu si Bayu. Siapa lagi, cowok yang datang ke sini kan cuma Bayu." jawab Mama.

"Ih, nggak ya! Temen cowok Phia kan lumayan banyak, Ma. Itu si Angga, Anjar, Beni, sama Pras kan pernah ke sini!" protesku.

"Yang bener-bener cowok kan cuma Bayu. Yang mau ngobrol panjang lebar sama mama. Temenmu yang lainnya mana ada, paling cuma jawab pertanyaan yang mama ajuin pun sekenanya. Beda sama Bayu, yang memulai obrolan, nanyain kamu. Oh iya, dia bahkan udah kenal sama Om Hans," ujar Mama kemudian memberiku sepiring nasi goreng sosis lengkap dengan telur mata sapi setengah matang favoritku. "Jadi kapan dia lamaran ke sini, hm?"

"Apa sih Ma? Phia belum mau nikah,"jawabku sembari mengunyah nasi goreng yang sudah mama ambilkan. "Lagipula jelas lah dia kenal sama Om Hans, secara dia kan mantan Clara."

"Pacaran jangan lama-lama, nggak baik. Kalau dia memang serius ya disegerakan nikah aja," ucap Mama.

"Nikah kan nggak gampang, Ma. Lagipula seperti yang aku bilang tadi, aku belum mau nikah. Belum siap untuk nikah," sahutku.

"Nunggu orang siap yang ada nggak akan kesampaian. Tingkat kesiapan orang itu beda-beda. Ya kalau memang sama sayang, dan ada niat buat serius, kenapa enggak? Menghindari zina, Phia. Dan juga omongan orang kalau kamu lama-lama pacaran."

Bukan masalah serius atau enggak. Bukan masalah menghindari zina atau semacamnya. Pada nyatanya aku sama dia itu bukan siapa-siapa. Hanya teman yang baru aja kenal. Nggak lebih. Dan aku sendiri pun nggak seberharap itu sama Bayu. Meskipun ada sedikit rasa ketertarikan pada cowok itu.

"Kenapa sih Ma, selalu mikirin omongan orang? Yang jalani kan kita. Mereka nggak tahu apa-apa tentang kita. Tahunya asal komentar doang!" celetukku.

"Iya benar. Tapi yang bisa nilai kita itu orang lain kan. Kita hidup itu bermasyarakat Phia, mau nggak mau komentar orang itu pasti ada. Mau secuek apapun terhadap omongan orang, tapi kalau mereka terus komentar kan juga bikin risih," ujar Mama.

Oke. Mama benar-benar merusak moodku pagi ini. Aku menghentikan kegiatan sarapanku, lalu beberapa kali meneguk susu hangat.

"Udahlah, Ma. Aku capek. Kenapa sih orang selalu menilai orang lain dengan satu sisi yang hanya mereka percayai aja. Seakan nggak ada sisi lain gitu. Aku belum siap. Itu artinya akan ada saat dimana aku siap. Aku nggak mau ketika udah nikah, aku sama suami aku masih sibuk mencari materi atau apalah itu. Sedangkan anaknya diterlantarkan, dititipin sama pembantu. Seakan anak itu kayak barang yang bisa dibeli di mana aja. Meskipun kami kerja memang buat anak, tapi anak itu punya kebutuhan lain selain materi. Dia butuh kasih sayang. Dan sekarang aja aku belum dapet kerja, belum punya investasi untuk masa depanku. Nggak ada jaminan untuk keluargaku kelak," ucapku.

Feel And FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang