Ruang 18

162 16 16
                                    

Hal yang paling sulit adalah merelakan apa yang sudah menjadi bagian dari kebahagiaan itu pergi tanpa kata kembali.

***

Mataku semakin sembab, setelah dua hari ini air mataku terkuras. Aku cukup sadar, di sini bukan hanya Laras yang salah. Tapi aku juga. Aku tak pernah memikirkan perasaan Laras. Padahal dia sering cerita tentang cowok-cowok itu, gebetan dia yang beberapa justru menembakku. Namun, aku justru seenaknya bersikap dengan cowok-cowok itu. Nggak kepikiran untuk membantu Laras dekat dengan mereka. Benar kata Laras, aku bodoh. Aku murah, karena dengan gampangnya menerima Bayu yang baru aku kenal belum lama ini.  Aku nggak menyangka persahabatanku dengan Laras hancur hanya karena hal kayak gini. Yang harusnya bisa diatasi dengan baik-baik.

Pulang dari ketemu dengan Laras, aku langsung di todong berbagai pertanyaan dari mama.

"Kamu kenapa sih Phia, dari kemarin kok kayak uring-uringan gitu? Nggak lagi ada masalah sama Bayu kan?" tanya mama.

Membuatku yang hendak ke kamar berhenti dan duduk di sebelah mama yang sedang mengganti bunga di vas yang berada di ruang tengah.

"Nggak kok, Ma. I'm so fine," jawabku, berdusta.

Mama tak menoleh ke arahku. Pandangannya tetap fokus merangkai bunga-bunga segar di depannya. "Jangan bohong. Kata baik-baik aja itu sama sekali bukan jawaban atas mata sembab dan sikap uring-uringanmu."

Aku menunduk, sejenak berpikir apa iya aku harus bercerita kepada mama juga? Tapi bagaimanapun, cepat atau lambat mama akan tahu semuanya.

"Emm ... Lagi ada masalah sama Laras, Ma,"jawabku.

"Masalah apa sih, sampai bikin mata kamu bengkak begitu? Pasti bukan masalah sepela kan?" tanya mama, lagi. Ah kenapa pula mama tiba-tiba jadi kayak wartawan gini.

"Laras cinta sama Bayu, Ma. Dan kemarin waktu kita ada acara rapat pernikahan. Pas Bayu nggak dateng, Laras ngirimin foto Bayu sama Clara yang lagi pelukan gitu."

Belum selesai bercerita, tiba-tiba mama menginterupsi, "Loh kok sama Clara?"

"Clara kan mantan Bayu, Ma. Aku pikir Bayu masih ada hubungan sama Clara gitu. Tapi ternyata pas aku tanya ke Bayu langsung. Bayu bilang kalau foto yang Laras kirim itu foto lama. Pas mereka masih pacaran. Dan kemarin aku tanya ke Laras lagi kan. Kenapa dia lakuin itu ke aku, Laras bilang dia emang mau hancurin hubungan aku sama Bayu."

"Drama banget nggak sih Ma? Laras cemburu sama aku. Laras bahkan benci sama aku karena aku sering nolak cowok yang dia suka. Padahal kan bukannya aku mau sok jual mahal. Kalau aku beneran nggak suka, masa iya mau nerima gitu aja? Iya sih aku memang ada salah juga di sini. Nggak mau bantu dia dekat dengan gebetan-gebetannya itu. Tapi ya, Ma  ... dia juga yang ngasih aku jalan buat kenal dengan Bayu, kalau di cinta sama Bayu kenapa nggak berjuang aja. Kenapa harus nunggu aku sama Bayu baru dia kayak gini? Sebelumnya dia juga nggak pernah cerita tentang perasaannya ke Bayu, jadi mana bisa aku tahu kalau dia cinta Bayu?" ucapku.

Selesai menyusun bunga, mama lalu duduk di sampingku. "Hanya karena itu kamu menangis sampai matamu jelek gini?"

Aku hanya diam. Iya. Aku memang lemah, Ma.

"Phia, tahu nggak sih. Kadang orang yang paling dekat dengan kita, yang paling tahu segala hal tentang kita. Adalah penjahat yang paling ampuh karena dia tahu sisi lemah kita. Makanya, mama pernah bilang kan, jika ada masalah cerita lah dengan mama. Berbagi pada mama. Okelah, kalau kamu mau bilang mama dulu sibuk. Tapi sekarang saat ada mama pun kamu nggak pernah cerita kalau nggak mama tanyain. Teman yang kamu anggap teman itu bisa sewaktu-waktu beralih hati menjadi musuh terbesarmu."

"Laras mungkin nyakitin kamu dengan hal kayak gitu. Tapi kamu harus tunjukin sama dia. Kalau hati kamu nggak serapuh itu untuk dihancurkan. Tunjukin sama dia kalau kamu bisa menang. Ajak Bayu berjuang. Musuh nggak butuh dibalas dengan hal yang jahat. Cukup jadi dirimu sendiri, dan tunjukkan bahwa kamu memang pantas mendapat yang terbaik," ucap mama. Ia lalu merangkulku. "Mama percaya dan yakin kalian bisa buat Laras sadar bahwa yang sudah ia lakukan itu sebuah kesalahan yang sia-sia."

"Iya, Ma. Bayu udah janji bakal tetap membelaku. Kita akan hadapi ini sama-sama," ucapku.

***

Sebuah ketukan pintu terdengar samar dari kamarku. Mama pergi belum lama tadi, dan tidak mungkin kalau yang mengetuk pintu itu mama. Karena mama membawa kunci pintu rumah sendiri. Dengan malas aku turun dan melihat siapa yang datang.

Seorang lelaki berpakaian rapi, mengenakan sepatu kets tersenyum saat aku membuka pintu.

"Permisi Mbak, apa benar ini alamat rumah Sophia Ananda?" tanya lelaki itu.

"Iya, dengan saya sendiri. Ada apa ya?" jawabku.

Lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak berbalut kertas kado, dan menyerahkannya padaku. "Ini, ada kiriman buat Mbak Sophia. Bisa tolong tanda tangani kertas tanda terimanya?" ucap si lelaki sambil mengulurkan bolpoin.

"Dari siapa ya, Mas? Soalnya saya tidak sedang memesan barang via online," ucapku.

"Dari seseorang yang tak mau disebutkan identitasnya, Mbak."

Tanpa identitas lagi? Apa pengirim ini sama dengan pengirim barang tempo hari itu ya?

Aku tersenyum memberikan kertas tanda terima kepada kurir itu lagi, dan masuk rumah.

Aku membuka kotak itu perlahan, dan setelah terbuka. Terlihat sebuah buku tahunan SMP Trijaya tahun 2008. Tahun kelulusanku. Tahun yang sama dengan kelulusan Abim, dan tentu saja di buku ini ada biodata Abim. Sebab kami memang satu angkatan, satu sekolah sewaktu SMP. Di halaman pertama ada sebuah kertas kecil yang bertuliskan;

"True love does not mean being never split, it means being splited and nothing changes"


Aku terus membuka lembaran buku itu, sampai akhirnya sampai di halaman di mana ada biodata Abim di sana. Di lembar selanjutnya ada secarik kertas yang terselip.

"Cinta tak pernah mengenal kata lupa

Cinta tak pernah mengenal kata pergi

Karena cinta ada untuk abadi"

Apalagi ini? Siapa yang mengirimi aku barang-barang yang berhubungan dengan Abim? Kenapa dia mengirimnya padaku? Dan kata-kata itu. Maksudnya apa?

Apa orang itu ingin aku mengingat Abim? Tapi buat apa?

Aku sudah mengikhlaskan Abim. Sudah dari jauh-jauh hari. Sekarang aku ingin sepenuhnya mencintai Bayu, tanpa bayang-bayang Abim. Tanpa segala hal tentang Abim. Semuanya telah berakhir. Abim sudah terkunci rapat dalam sudut hatiku, dan takkan pernah aku buka lagi.

Abim abadi dalam masa laluku.

Aku menutup buku tahunan dan menaruhnya kembali ke kotak yang aku letakkan di sudut kamar bersama kotak yang aku terima beberapa hari lalu dari pengirim yang misterius juga. Dan aku pikir, pengirimnya adalah orang yang sama. Sebab yang ia kirim selalu berkaitan dengan Abim.

Kalau coba kuingat lagi, orang yang tahu segala hal tentang hubunganku dengan Abim itu ...

... Ah ya, dia. Cewek itu. Teman dekat Abim saat Abim pindah ke Jakarta. Tapi dia sudah tidak tinggal di Indonesia lagi. Setahuku, dia mengambil studi di luar negri. Apa mungkin dia dalang dari ini semua?

****

To be continue ...

See you on next chapter!!!

Salam manis,

Ayudiandra❤

Feel And FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang