Mataku terbuka dengan berat di pagi harinya, aku hanya tertidur selama kurang dari dua jam. sedikit kabur dalam pandanganku, dengan pelan kedua kakiku berjalan menuju kamar mandi, dan air dingin itu mengguyur badanku dengan tajam. Perlahan kurasakan kesegaran.
Setelah berpakaian rapi aku menjemput putriku di rumah Bibi Vera, beliau sangat luar biasa. Aku melihat Bella sudah rapi dengan seragam dan mulut beraroma susu murni.
"Terima kasih Bibi Vera." ucapku meraih Bella, beliau tersenyum senang melihat kami, aku dan Bella.
"Saya yang berucap terima kasih pada kalian," aku tidak mengerti dengan kalimat itu. "Kalian telah mengobati rasa rindu pada cucu dan anakku." aku tersenyum merasa tidak enak mendengar hal tersebut.
"Bibi Vera, Bella berangkat sekolah dulu ya."
"Kami mencintaimu Bibi Vera." Bella dan aku bergantian menghujani Bibi Vera dengan kalimat yang mungkin bisa membuat hatinya bergetar hebat. Dia tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
Kemudian kami berlalu dari hadapan beliau, bergerak menuju mobil lalu meluncur ke sekolah Bella.
Setelah melepasnya pergi, entah kenapa aku seakan tidak mau mengalihkan pandangan dari sosok malaikat kecil itu, parasnya membuatku terpaku di tempat dan mata yang masih tegas menatap senyumnya yang damai.
Beberapa detik kemudian Bella menghilang di balik gerbang sekolah namun aku masih berdiri di sana, memandang gerbang sekolah itu, akhir-akhir ini aku akan lebih sering menatap gerbang itu, dan mungkin akan selalu menatapnya hingga beberapa tahun ke depan. Angan-anganku mulai menggila, aku mencoba membayangkan Bella saat remaja nanti, pasti terlihat cantik dan pintar. Dan ketika tumbuh dewasa banyak laki-laki yang akan berurusan denganku untuk mendapat restu. Bibirku tersenyum berat melihat imajinasi indah itu.
Tubuhku kembali masuk ke dalam mobil, mengendarainya seperti biasa kembali pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah kurasakan otot-otot di pergelangan tanganku kaku, entah efek kurang tidur atau apa tapi rasanya sangat kaku. Ketika keluar dari mobil aku melihat samsak yang bergantung di tempatnya. Seketika aku tersenyum sinis melihat samsak itu seolah memelototiku.
Dengan cepat aku membuka kaos yang menempel pada bagian atas tubuhku, aku membiarkan matahari menyoroti tubuh indahku. Dengan sangat bersemangat aku mulai meninju samsak tersebut dengan emosi dan liar. Suara-suara amarah sesekali terlontar dari mulutku, suara itu terdengar seperti erangan seekor singa.
Ketika aku sedang menikmati pukulanku, tiba-tiba terdengar bunyi mobil berhenti di belakangku, di depan rumahku. Seketika aku melihat ke sumber suara tersebut, aku melihat mobil besar jenis Jeep bewarna hitam pekat, kemudian dari dalam mobil itu keluar tiga orang memakai setelan jas hitam lengkap dengan kaca mata dengan warna senada dengan pakaiannya.
"Leo?" ucapku pelan setelah melihat dia muncul di belakang dua pengawalnya, perawakannya tidak berubah sama sekali, masih terlihat kekar dan segar.
"Hai, Curt." sapanya setelah tubuh dia berhadapan denganku, kedua pengawal itu berada tepat di belakangnya.
"Ada apa kau kemari?" kepalaku melihat sekeliling, akan membuat warga sekitar curiga bila melihat tiga orang berpenampilan mencolok seperti mereka. "Masuklah." aku menggiring mereka masuk ke rumah untuk keamanan diriku sendiri, kaos itu aku biarkan tergeletak di atas mobil. Dan aku masih membiarkan keringat di tubuhku bergerak dengan indah.
Aku menyuruh Leo duduk di sofa depan TV, para pengawal hanya berdiri di ambang pintu, memantau aku dan Leo. Kurasa bagaimana pun aku gerakkan tubuh ini, aku tidak akan mendapatkan posisi yang nyaman pada saat di sisinya.
"Mereka terlihat cantik Curt." ucap Leo tersenyum mengomentari foto aku, Claudia dan Bella yang sedang tersenyum di tepi pantai dengan langit biru indah, foto itu terletak persis di atas televisi di depan kami. Aku melirik foto itu sedetik lalu kembali menatapnya. "Tapi sayang kabar kematian itu membuatku berduka, maafkan aku." dia seolah-olah berduka atas pembunuhan yang terjadi pada Claudia.
"Apa tujuanmu datang ke sini?" aku tidak mau berbasa-basi lebih lama lagi dengannya. Dia tersenyum melihat keteganganku.
"Ayolah Curt jangan bersikap tegang seperti itu, aku hanya bermaksud menjengukmu. Kupingku mendengar kabar tentang pemecatan dan kematian itu." mulutku semakin tertutup, barisan gigi atas dan bawahku berbenturan dengan keras menahan rasa amarah yang memuncak.
"Kalau begitu kalian boleh pergi." aku bangkit berdiri, berusaha menjauhinya. Tiba-tiba aku rasakan dia memegang punggungku, bukan. Dia memegang pisau lipat yang selalu aku simpan di saku bagian belakang celana, dengan sopntan tubuhku berbalik, tangan kananku meraih pisau tajam itu dan menodongkan ke arah mata Leo, aku hampir mencongkel bola matanya.
"WOO...!!"
Leo berteriak kaget melihat pergerakan cepatku. Dengan cepat pula kedua pengawal itu bergerak menodongkan pistol ke arahku dengan muka waspada dan bersiap. Melihat itu aku perlahan melentur menjauhkan ujung pisau itu dari mata Leo. Para pengawal itu juga dengan pelan menurunkan pistolnya dan kembali berdiri di tempatnya semula.
"Aku hanya memastikan apakah pisau itu masih ada di tempatnya atau tidak, aku lega setelah tau pisau itu masih ada di sana." Leo tersenyum menang.
"Jangan pernah berharap kalau itu berarti aku akan kembali ke kandangmu."
"Ayolah Curt, kau memiliki pisau yang sangat tajam dan indah. Sayang kalau tidak digunakan."
"Aku sama sekali tidak ada niatan untuk bergabung kembali denganmu Leo!" aku membentaknya pelan, mataku melotot hampir keluar berusaha menunjukkan keseriusanku untuk menolak permintaannya.
"Kau sama aja kayak sahabatmu, James. Kalian sudah tidak memperdulikanku." aku melihatnya tidak mengerti. "Aku hanya ingin kau kembali bersamaku Curt." nadanya seperti memohon, namun suara itu membuatku jijik.
"Aku tahu keterpurukanmu, kau bisa merekrut para pembunuh bayaran lain untuk bergabung denganmu, dengan kalian! Aku sudah tua, kau bisa mencari yang lebih muda dan segar." aku berusaha memberi solusi untuk Leo agar dia mengerti posisiku yang tidak mau kembali ke dunia gelap itu, aku hanya ingin bersama Bella, itu saja.
"Kau memiliki tangan yang beku Curt, Pisau di tanganmu bisa dengan tegas mengoyak dada atau menggorok leher orang. Bahkan kau bisa menembak dengan posisi mata tertutup, seolah kau memang diciptakan untuk menjadi seorang pembunuh yang hebat!" Aku tersenyum jahat mendengar pujian mengerikan darinya.
"Pintu keluar ada di sana Leo." aku melirik ke arah pintu utama. Leo dengan berat bangkit dari duduknya, tersirat rasa kecewa pada raut wajahnya. Perlahan dia berjalan menuju pintu keluar, mungkin dia berharap aku akan menghentikan langkahnya lalu bilang aku menyesal dengan penolakan itu dan aku bersedia bergabung dengan komplotannya. Tapi sayang, itu tidak akan terjadi.
Beberapa menit kemudian mereka sudah menghilang dari dalam rumahku, mobil hitam itu pun bergerak menghilang dari pandanganku, entah ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
CURT - TAMAT
General FictionCurt menata hidupnya senormal mungkin. Hingga suatu saat terjadi satu hal dan menyebar ke hal lain, mengharuskannya masuk kembali ke dunia hitam.