Malam itu juga aku langsung melaju menuju markas Leo. Aku sudah tidak sabar untuk menjemput putriku kembali ke rumah.
Senyum bahagia mewarnai malam yang indah dengan lampu jalan dan gedung-gedung pencakar langit.
Keempat roda kendaranku masih bergulir di atas aspal yang dingin menuju pasar yang menyimpan tempat mengerikan itu. Beberapa menit berlalu kakiku menginjak rem dengan cepat, aku sudah tiba di depan pasar tersebut. kini aku berparkir dengan tertib, aku tidak mau ada kesan jelek di mata Bella nanti.
Tubuhku keluar dari mobil dengan kaku, aku kembali memasang posisi tegak. Dengan normal aku gerakan kakiku melangkah masuk ke dalam, lurus hingga belokan jajaran aroma amis ikan dan menerobos sampai berdiri di pintu utama markas.
Setelah tubuhku digeleda dan mereka menemukan benda yang selalu sama kubawa, salah satu dari mereka mengamankan pisau lipatku, lalu aku masuk dan melihat Leo terduduk seperti sedang menungguku.
"Oh Curt, kau orang yang luar biasa." dia bernada seolah hanya aku yang bisa mengerjakan tugasnya dalam jangka waktu yang tidak lama.
Aku lemparkan kamera digital itu ke hadapannya, dia menangkap dengan gaya pasti. Kamera itu pun tepat hinggap di tangan kirinya yang sedikit terangkat ke atas. Sedetik dia melirikku sebelum matanya terfokus pada layar kecil kamera tersebut.
Beberapa detik kemudian dia tersenyum senang, aku rasa dia sedang melihat foto si korban dengan kepala terbungkus plastik. Bibirnya terus tersenyum memperhatikan hasil fotoku, kemduian matanya beralih menatapku dengan senyum kesenangan.
"Di mana Bella?" aku tidak sabar untuk bertemu dengannya.
"Jangan terburu-buru, Curt. Dia aman di sana."
"Apa maksudmu?" aku menangkap kalimat janggal.
"Hanya satu target lagi." Leo tersenyum dengan cara menjijikan. Aku mulai mengepalkan tangan, aku merasa kecewa karena telah dipermainkan seperti ini.
"Apa kau mempermainkanku?" kalimatku terdengar bukan seperti kalimat tanya. Leo mengangkat kedua bahunya, berpura-pura memasang wajah polos. "Kau manusia paling menjijikan!" aku tidak bisa menahan rasa marahku.
"Curt. Apa kau sudah tidak bergairah untuk membunuh lagi? Ayolah kau adalah pembunuh paling hebat yang pernah aku kenal. Kabarmu mengundurkan diri dan memilih jadi seorang polisi membuatku merasa...kehilangan?" aku masih mual mendengar nada bicaranya.
"Sayang aku belum punya kesempatan membunuhmu!" Leo tertawa terbahak-bahak mendengar kalimatku yang terdengar menyeramkan, apa dia menganggap kalimat itu adalah lelucon? Aku akan membuktikan kebenaran kalimat itu suatu hari nanti.
"Kau memiliki selera humor yang bagus Curt," benar, dia menganggapku bercanda. Kemudian tangan dia meraih gagang laci dan mengeluarkan gulungan kertas. Apa dia sudah gila? Bahkan aku belum menyetujuinya. Dengan keras dia melempar gulungan kertas itu lalu kamera digital melayang setelahnya ke arahku.
"Aku belum bicara apa-apa tentang ini."
"Ah sejak kapan kau suka basa-basi? Apa di kantor polisi kalian lebih banyak bergosip seperti perempuan?" dia tersenyum senang menghinaku. "Kau masih mencintai Bella bukan?" lanjutnya mengancamku.
Hatiku bergetar hebat ketika mendengar nama Bella. Bukan Bella yang tersenyum senang melainkan Bella yang tersiksa dan merasa takut.
"Kau pengecut!" Leo kembali tertawa terbahak-bahak mendengar kalimatku.
"Sama-sama." nadanya seperti menjawab kalimat 'terima kasih' dariku. "target yang ada di tanganmu itu adalah seorang bos saham yang sangat kaya, pria itu bernama Robert Salim. Ada dua pelapor yang ingin membunuhnya. Pertama bos perusahaan yang merasa dirinya tersaingi olehnya dan yang kedua adalah istrinya sendiri. Mereka berdua bersekongkol untuk membunuh pria yang katanya sombong dan kasar itu,"
Aku terdiam mendengar penjelasan dari bacot anjing kampung yang licik.
"Harta bisa membuat orang senang tapi juga bisa menghabisi nyawanya kan? mereka merasa beruntung bila kami bisa membunuhnya. Tidak akan ada pesaing yang unggul lagi dan harta kekayaan itu akan jatuh pada tangan si istri yang jahat." terkadang aku tidak mengerti dengan cara fikir si pelapor, kenapa mereka harus melakukan hal seperti ini? faktanya mereka lah yang membuat profesi pembunuh bayaran semakin menjamur.
"Beri aku satu nyawa." aku meminta tumbal untuk melampiaskan kekesalanku. Leo melirikku tidak mengerti, matanya melirik ke gulungan kertas yang aku genggam. Mungkin dia fikir dia telah memberikku satu nyawa di genggamanku.
"Maksudmu sekarang?" nadanya kaku menatapku. Aku tidak menggerakan tubuhku sama sekali, aku terus menatapnya dengan tajam. "Baiklah, beri dia pisaunya." perintahnya ke pengawal di sampingnya. Aku tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat itu, pengawal itu pun seperti menghentikan langkahnya ketika mendengar tawaku.
"Apa kau takut aku akan menembak jidatmu Leo? Kau memang sangat pengecut!" aku menantangnya. Rasa kesalku bercampur dengan rasa takut akan keselamatan Bella.
Mendengar kalimatku, bibir Leo tersenyum sinis lalu tangannya membuka laci teratas. Diambilnya pistol hitam dan dia langsung melemparkannya ke arahku. Aku menangkapnya dengan senang.
Dengan cepat aku memeriksa isi peluru dalam pistol tersebut, aku melihat ada sekitar lima peluru di dalamnya. Aku tersenyum dan mengangguk senang.
"Kau boleh memilih salah satu nyawa di ruangan ini kecuali aku. Karena jika kau menembakku, aku bisa pastikan Bella akan tertembak juga di luar sana." ucapnya memperingatiku dengan santai.
Apa maksudnya kalimat 'di luar sana?' apa mungkin Bella tidak berada di salah satu ruangan ini? kalau benar, lalu dia berada di mana? Aku sedikit bingung memikirkan teka-teki itu. kalimat tidak jelasnya semakin membuatku emosi.
Dengan cepat aku menembak pengawal yang tadi hendak mengambilkan pisau untukku. Aku terus menghantam bagian tubuhnya dengan beberapa peluru.
Kemudian di saat instingku merasakan kalau yang aku tebak itu adalah peluru terakhir dan tidak ada lagi peluru yang tersisa di dalam pistol. Dengan cepat aku menggeser posisi pistol ke arah kening Leo, lalu aku tembak pistol tanpa peluru itu dengan ekspresi tegas dan pergerakan cepat itu membuat Leo terkejut.
Leo tertawa kaku dan girang melihat tidak ada peluru yang menghantam bagian tubuh atau kepalanya. Jejeran pengawal sempat ingin menembakiku namun senjatanya melemas kembali ketika tahu tidak ada peluru di dalam pistol yang aku pegang.
Aku sedikit sudah merasa puas melihat darah yang menciprat keluar dari tubuh tumbalku, dan ekspresi kaget yang diberikan oleh Leo membuatku senang. Setidaknya aku bisa membuatnya shock.
"WOW! Kau luar biasa." ucapnya bersemangat, nadanya masih sedikit bergetar karena takut.
Aku tidak menaggapi kalimatnya, tanganku melepaskan pistol kosong itu ke lantai. Dengan cepat aku berbalik badan untuk keluar dari ruangan ini.
"Kau sudah membangunkan singa yang sedang tidur Leo." ucapku sangat pelan sambil melangkah menjauhinya. Suara itu seperti hanya aku yang bisa mendengarnya, dari arah belakang terdengar sorakan Leo yang mungkin masih merasakan kegembiraan atas peluru kosong tersebut.
Aku berjalan menuju mobil dan kembali menuju rumah. Rasa kesal sudah menyelimuti tubuhku, aku tidak ingin bermain-main lagi dengannya. Ini melibatkan Bella, putri kecilku. Aku tidak bisa membuatnya merasa ketakutan lebih lama lagi.
Leo sudah membangunkan singa yang sudah tertidur, dia telah membangunkan sifat liarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
CURT - TAMAT
General FictionCurt menata hidupnya senormal mungkin. Hingga suatu saat terjadi satu hal dan menyebar ke hal lain, mengharuskannya masuk kembali ke dunia hitam.