Catatan Kelima

84 6 0
                                    

            Tidak lama kemudian aku mendengar sirine polisi mendekat ke rumahku. Aku mengusap air mata yang mengalir di kedua pipi, membuat pipiku berlumuran darah karena permukaan kedua tanganku memang sudah penuh dengan darah.

Aku bangkit dengan mata masih merah, bibirku bergetar menahan tangis. Ketika polisi melihatku, mereka menodongkan pistol kepadaku, mungkin mereka berfikir aku orang yang telah membunuh wanita ini.

"Kau jangan gila, dia suaminya!" suara Bibi Vera terdengar disusul oleh wujudnya yang masuk ke dalam rumah sambil membentak lima orang polisi yang datang. Mendengar sentakan itu para polisi langsung menurunkan senjatanya dan menghampiri Claudia dengan cepat. "Kau tidak apa-apa?" Bibi Vera meraba-raba badanku yang kekar, dia memastikan apakah aku terluka atau tidak.

"Bella." aku mengucap nama itu dengan nada lirih.

"Dia baik-baik aja, dia sudah ada di tempat yang aman, di rumah saya." Bibi Vera menangis melihat kondisiku yang terlihat mengenaskan.

"Apa kau suaminya?" satu polisi masuk ke dalam rumah. Aku dan polisi itu sama-sama terkejut melihat sosok satu sama lain. Dia adalah oknum polisi yang sudah memecatku. "Oh, maaf aku tidak tau kalau rumahmu di sini." aku masih menatapnya dengan tajam dan penuh benci. "Dan aku turut berdua cita atas kematian istrimu." dia melanjutkan dengan nada takut.

"Polisi bodoh, lakukan tugasmu! Jangan kau anggap orang yang sedang berduka akan senang ketika ada yang mengajaknya berbincang!" Bibi Vera kembali mengeluarkan nada tinggi dengan bibir yang bergetar hebat.

Polisi itu menghela nafas dan mengangguk pelan, tubuhnya menghampiri jasad Claudia. Dengan sangat hati-hati tangan polisi itu memeriksa tubuh Claudia yang terluka, diskusi pun terjadi selama beberapa menit. Aku hanya menatap para polisi itu dengan tajam, memperhatikan setiap gerak geriknya.

Mereka pun bubar seketika, menjauhi jasad Claudia. Dua polisi lainnya menggotong mayat tersebut yang sudah tertutup oleh tempat mayat berwarna kuning yang mereka bawa sendiri. Pak Erwin menghampiriku kembali dengan tubuh kakunya.

"Ini kasus pembunuhan."

"Tidak mungkin istriku menembaki tubuh dan kepalanya sendiri dengan cara yang tidak wajar, kan?" sergahku dengan kalimat bodohnya.

"Saya sudah tidak kuat lagi berhadapan dengan polisi seperti dia, untung kau sudah tidak jadi polisi lagi Curt, karena kalau tidak. Mungkin kau akan terlihat bodoh sepertinya." Bibi Vera keluar dari rumahku, meninggalkan kami berdua di sini. Dia terlihat sangat marah melihat kebodohan kalimat yang terlontar dari mulut okmun polisi itu.

"Kami akan berusaha secepat mungkin agar si pelaku bisa cepat di tangkap." aku masih menatapnya tajam, dia sangat takut melihatku, aku bisa merasakan hal itu. "Ini akan memerlukan waktu yang lama Curt, jujur si pelaku adalah pembunuh yang pandai menghilangkan jejak. Tidak adanya saksi mata membuat kasus ini semakin rumit." lanjutnya seperti mengeluh.

"Lakukan tugas seragammu dengan sebaik mungkin." bibirku terkaput menahan emosi. "Kau tau beberapa hari ini adalah hari yang sulit buatku, pemecatan yang dilakukan olehmu membuat otakku beku dan kejadian ini..." aku tidak melengkapi kalimatku. Aku memejamkan mata untuk menahan tangisan, "aku sangat mencintainya." air mataku pun menetes pelan.

Melihat itu Pak Erwin menghampiriku dan langsung memelukku dengan akrab. Aku membiarkan kejadian itu berlangsung, tidak ada perlawanan dari tubuhku yang membuatnya gentar lagi.

"Aku sungguh minta maaf Curt." ucapnya setelah melepaskan pelukan. "Aku janji akan menemukan pelaku pembunuhan ini secepat mungkin." dia pun melangkah menjauhiku, keluar rumah.

CURT - TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang