Prolog

235 18 48
                                    

September, 2015.

Rere menarik napasnya panjang, bersyukur ia tiba di kelasnya sebelum bel masuk berbunyi. Rere duduk di bangkunya dengan napas terengah-engah. Ia mengambil satu bukunya, memang, ini pagi hari, matahari belum terbit dengan panas, tapi ia benar-benar gerah, ditambah keringat yang ikut muncul saat ia sibuk berlari menuju kelas beberapa menit lalu.

"Kenapa lo, kek baru di kejer setan aja, ada hantu apa di luar?" sahut Risa yang sontak berhenti ketika melihat sahabatnya tersebut tiba di kelas, langsung mengambil posisi di sebelah Rere.

"Mak lampir yang ngejer gue," jawab Rere dan diikuti tawa kecil Risa.

"Ada pr, jangan sok tenang gitu, Re. Fisika lagi, Pak Amir masuk hari ini," Risa mengingatkan Rere cepat.

Rere menepuk jidatnya kencang, "Mati gue, yang mana?"

"Terserah lo yang mana,"

"Bocah gesrek, buru, yang mana?!" tanya Rere kesal.

"Itu, yang halaman 68," ujar Risa sambil tertawa kecil.

Rere buru-buru mengambil buku cetaknya, membuka halaman 68. Rere mengambil pena dan kalkulatornya.

"Gaya bener lo sok-sok buka buku, nih liat buku gue aja, gue udah jawab," Risa memberikan bukunya yang berisi pr fisika.

"Nyontek di siapa nih, percuma kalo lo ngasal,"

"Ebuset nih anak, untung-untung gue kasih sontekan, enak gue mau bagi jawaban, bukannya bersyukur,"

"Iya, tapi nyalin punya siapa, lo?"

"Punya Ahmad. Masih ragu, lo?"

"Emang dia mau kasih lo jawaban?"

"Ya elah, lama bener ritual mau nyalin jawaban aja. Lo gak tau ya pesona seorang Risa Sabila? Seorang Risa Sabila bisa menaklukkan hati para lelaki, hanya demi jawaban,"

"Aduh, udah gesrek bener nih sahabat gue. Udah-udah, gue mau nyalin dulu. Durasi nih," ujar Rere sambil melihat jam berwarna tosca yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, "lima menit, mana cukup nih buat nyalin,"

"Ah bacot sih lo, Re, udah salin aja, lima menit nih dikasih waktu, keburu Pak Amir dateng,"

Tanpa mengubris ucapan Risa, Rere buru-buru menyalin semua jawaban yang ada di buku Risa, dipindahkan dengan rapi di bukunya, bukan seperti seorang penyontek yang asal menulis jawaban, Rere benar-benar menempatkan jawaban salinannya dengan baik dan rapi.

Dua belas menit berlalu, bel masuk sudah berbunyi tujuh menit yang lalu, tapi Pak Amir yang biasanya paling rajin masuk kelas, dan disiplinnya paling tinggi, terlambat tujuh menit di detik ini. Benar-benar rezeki untuk Rere, rezeki untuk menyontek.

"Lo tau kabar gak nih?"

"Kabar apaan woi? Gue kudet nih," Rere yang baru saja selesai menyalin jawaban, langsung ikut menimbrung ke rombongan gosip yang sedang mengobrol seru di setiap pagi.

"Udah kelar? Lama bener,"

"Yaelah, 40 soal woi, keriting tangan gue,"

"Lo gak tau kabar, Re?" tanya Risa kembali ke topik semula. Rere menggeleng cepat, "voice note yang gue kirim semalem gak masuk?"

"Eh, gue gak punya paket,"

"Waduh, kasihan betul anak orang," Risa mengacak-acak rambut Rere.

"Kabar apa nih? Kalo gak seru dan gak penting-penting amat, gue bunuh lo, lo udah ngambil waktu gue buat nonton,"

"Tapi nanti lo sensitif kalo gue kasih tau nih kabar, siap-siap sesak napas ya,"

"Eh sok khawatir lo, gue mah tangguh, mau denger apapun juga tetep baik-baik aja, buru,"

Lamunan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang