Bab 6

81 4 5
                                    


Januari, 2016

Rere menarik selimutnya kembali, sebenarnya bunyi panggilan beberapa menit lalu berhasil membuat dirinya terbangun dari lelapnya tidur.

Handphone-nya berbunyi kembali. Rere menjauhkan selimutnya hingga terjatuh ke sembarang tempat.

Rere meraih handphone-nya yang berada di atas meja sebelah tempat tidurnya.

Rere mengerutkan alisnya, nomor tidak dikenal. Berani-beraninya pemilik nomor tersebut menganggu ketenangan hidup Rere di pagi ini.

"Selamat pagi," sapa orang di seberang sana. Rere kembali memejamkan matanya. Ia rasa lawan bicaranya tersebut salah sambung, mendengarkan ucapan selamat pagi bagi Rere adalah hal asing, tidak ada orang yang akan mengucapkan selamat pagi untuknya, lebih tepatnya sejak beberapa tahun lalu.

"Maaf Mas, salah sambung kali," Rere hendak memutuskan panggilan telepon tersebut. Tapi balasan dari lawan teleponnya berhasil membuat dirinya bangkit dari tidurnya.

"Hah? Bagas?" Rere mengulang kata yang baru saja ia dengar dengan histeris. Membuat lawan teleponnya di sana menjauhkan handphone dari telinganya sebentar.

"Lo takut banget gue telepon ya? Udah pagi nih, gak sekolah lo?" tanyanya cepat.

Rere melihat jam dinding, jam enam kurang. Ia bangun terlambat, alarmnya tidak berfungsi. Sebenarnya berfungsi, hanya sang pemiliknya tadi mematikan alarm dengan cepat dan langsung menikmati tidur lelapnya kembali, dan alhasil ia terlambat bangun.

"Gue mau mandi dulu, mau sekolah. Lo gak sekolah nih? Kalo ada perlu, telepon gue jam sembilan ya, pas gue istirahat,"

"Tapi ini hari pertama lo aktif sekolah kan? Gak mungkin lah langsung belajar, gue telepon sesuka gue ya," pinta Bagas.

Rere mengangkat alis kirinya, "terserah lo deh, lo mau apa? Minta tanggung jawab soal waktu itu gue nabrak lo?" tanya Rere sewot.

Baru selesai mengeluarkan kata-katanya, bip, panggilan terputus. Rere mendengus kesal.

"Lha, dikira gue apa kali ya? Sesuka jidatnya aja nelepon terus matiin telepon, gila kali tuh anak," gerutu Rere.

Rere langsung mengambil handuknya dan segera mandi, ia akan terlambat parah menuju sekolah kalau bisa berlama-lama menunda waktu. Apalagi ini hari pertama aktif sekolah, bekerja, dan lain-lainnya, jalanan pasti sangat macet. Rere bergidik membayangkan jika ia dihukum di hari pertama masuk sekolah setelah liburan, pasti ia akan mendengar ceramah dari guru bp selama empat jam tanpa putus.

Menu sarapan hari ini cukup membuat Rere bersemangat untuk melahap habis makanan yang terhidang cantik di atas meja tersebut.

Mata Rere terbelak saat tahu siapa yang memasak, bukan suatu kejadian aneh memang, tapi cukup menyentuh hatinya.

Wanita paruh baya tersebut mendekat, masih ada piring putih sedang berisi telur mata sapi setengah matang kesukaan keluarganya.

"Selamat pagi sayang, sudah siap untuk sekolah di semester ini?" tanya Mamanya seraya mencium kening Rere. Rere tersenyum bahagia, Mamanya kembali.

Rere mengangguk mantap, "siap, Ma. Mama gak kerja?"

"Mama ambil cuti, sekitar satu minggu, kamu gak suka?"

Rere memberi isyarat melalui tangannya, "enggak-enggak, Rere suka kok," jawab Rere dengan cepat, ia mengambil piring yang sudah tersedia di sudut kanan, "hanya aneh aja gitu, 'toh Mama gak pernah ada di rumah,"

"Maafkan Mama ya Re, Mama kemarin-kemarin terlalu sibuk pada dunia Mama. Mama jadi lupa kalau kamu butuh Mama, disaat kamu butuh Mama justru Mama jauh dari kamu. Maaf ya, Nak," Mama memeluk Rere erat.

Lamunan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang