Bab 3

82 4 0
                                    

"Sebab hatiku bukan lego yang bisa kau mainkan. Kau susun, lalu kau hancurkan kembali. Bukan, hatiku tidak bisa diperlakukan seperti itu. Kalau kamu suka, maka kamu hanya perlu menyusunnya, tanpa repot-repot menghancurkannya. Tapi kalau kamu tidak suka, setidaknya jangan datang untuk menyusun lalu menghancurkan. Jangan datang, atau pergilah, cari hati lain yang bisa kau perlakukan seperti sebuah lego. Sekali lagi kutegaskan, hatiku bukan lego yang bisa kau mainkan sesuka mu." Risa Sabila

Pagi ini matahari sudah menunjukkan dirinya, menyapa kulit Rere dengan sinarnya yang cukup panas.

Rere memasuki koridor sekolah. Ia berjalan menelusuri koridor sekolah dengan santai. Pagi ini koridor sekolah sudah di padati penduduk sekolah. Baik para siswa yang makan jajanan kantin lalu memilih duduk di kursi-kursi yang ada di koridor, para siswa penyebar gosip, para siswa penerima gosip, dan sebagainya, semuanya berkumpul rapi di koridor sekolah pagi ini.

Rere memijat kepalanya yang tidak pusing, ia benar-benar pusing mendengar semua curahan hati Risa.

Rere memasuki kelasnya, lalu duduk di bangkunya sendiri.

"Kenapa lo? Kusut amat tuh muka,"

"Lo diem deh," sahut Rere. Ia sedang mendapat tamu bulanannya hari ini. Ia sudah pusing karena Rere, sekarang moodnya harus diganggu pula.

"Eh ya Allah, nenek lampir ngamuk," ujar Nicko. Teman terjahil di kelasnya.

"Lo diem bisa nggak nih, atau mau gue tonjok?" Rere mengacungkan kepalan tangannya.

Nicko mundur menjauh, "Ampun-ampun..., iya deh iya,"

Bel masuk berbunyi. Rere memijat kepalanya yang tidak pusing untuk kesekian kalinya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi ia masih belum melihat batang hidup sahabatnya tersebut.

"Eh bener gak sekolah tuh anak, frustasi bener nih pasti," ujar Rere kecil, seraya mengambil buku pelajaran hari ini.

Ini hari ketiga Risa bolos sekolah, alasannya saat Rere tanya, ia bosan, ia lelah. Ia sakit. Hatinya hancur.

Tidak ada yang bisa membujuk Risa, sekalipun Rere. Kalau ia terlanjur larut dalam satu masalah atau situasi, maka sulit mengeluarkan Risa dari masalah atau situasi tersebut.

Tiga puluh menit berlalu, guru mata pelajaran tidak kunjung memberikan materi, masuk kelaspun tidak.

"Sumpah demi apa, ini gue bosen banget," teriak Rere. Perutnya melilit, pinggangnya sakit. Belajar tidak, waktu paginya terbuang sia-sia.

"Wei nenek lampir, diem! Nanti Bu Ani dateng mampus, lo!"

"Lo belum pernah lihat cewek kalo lagi pms ya? Lo gak tau dahsyatnya amukan cewek pms?" tanya Rere kesal.

"Oh lagi pms, pantes persis kek nenek lampir, udah ah, diem deh intinya!" ujarnya sambil meletakkan telunjuk kanannya di bibirnya, menyuruh Rere diam.

Rere bangkit dari duduknya, ia memilih ke UKS, perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi.

Rere mengetuk pintu kamar Risa perlahan, berulang kali, tanpa balasan. Rere menggaruk kepalanya yabg tidak gatal.

Tanpa disuruh, Rere membuka pintu kamar. Ia meletakkan kantong plastik yang ia bawa di atas meja belajar Risa.

Rere duduk di samping Risa yang sedang berbaring di balik selimut doraemonnya.

"Sa," sahut Rere kecil.

Lamunan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang