17. Pencarian Ola

650 54 2
                                    

"Kita ke mana lagi, Dan?" tanya Indra lelah. Dana meliriknya sekilas.

Sudah seharian mereka mencari Ola keliling Surabaya. Namun, tidak ada jejak yang ditinggalkan gadis tersebut.  Studio fotonya terlihat sangat rapi. Biasanya studio foto kawan karibnya penuh dengan barang tak berguna di berbagai sisi. Akan tetapi, kali ini tempat itu terlihat bersih. Bahkan, letak foto di dinding pun terlihat simetris. Begitu penilaian Lena saat mereka tiba di studio foto Ola.

Selanjutnya, mereka pergi ke galeri Ola yang berada di kawasan Surabaya Timur. Biasanya di sana Ola memamerkan semua hasil jepretan kameranya. Dan juga di galeri itu, ia sering mendapatkan ide.

Setelah mereka sampai di tujuan, hanya kehampaan yang diterima. Kata orang yang menjaga galeri tersebut, Ola tidak berada di sana. Ola benar-benar seperti lenyap ditelan bumi. 

Di mana kamu, La? batin Lena bertanya.

"Kita ke mana lagi?" tanya Indra menepuk bahu Lena yang terlihat linglung.

"Entahlah," jawab Lena lemas.

"Kamu nggak tahu biasanya Ola di mana?" tanya Dana memastikan.

Lena menoleh, menatap tajam Dana. Ingin sekali ia mencakar wajah gantengnya. Bagaimana tidak, sedari tadi ia yang mengusulkan mencari Ola ke berbagai tempat. Sedangkan Dana yang  calon suami Ola malah tidak tahu apa-apa.

Lena berusaha mengingat tempat mana lagi yang belum ia datangi.

"Kita ke apartemennya," ujar Lena lirih.

"Di mana?" tanya Indra antusias.

Terlihat jelas binar bahagia terpancar dari bola mata Dana. Tersirat sebersit  harapan untuk menemukan keberadaan Ola.

"Apartemen Gunawangsa."

Lena menjawab singkat. Tanpa membuang waktu, mereka langsung ke sana.

Sesampainya di lokasi , Lena langsung menuju kamar Ola. Untung saja ia mempunyai kunci duplikatnya. Jadi, mereka tak susah payah berpikir untuk masuk ke dalam sana.

Lena masuk duluan. Ia mengamati ruangan yang terlihat gelap. Sembari menghidupkan lampu, Lena memanggil Ola. Tak ada sahutan sama sekali. Ia pun membuka kamar yang terlihat kosong. Ia sudah mencari ke seluruh penjuru apartemen, akan tetapi hanya sepi yang Lena dapatkan.

"Di kamarnya ada?" tanya Dana yang barusan keluar dari arah dapur.

Lena menggeleng lemah. Ia memilih duduk di sebelah Indra. Tak biasanya Ola menghilang seperti ini. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan ia belum menemukan keberadaan sahabatnya tersebut.

"Pemandangan yang indah!" seru Indra yang entah sejak kapan sudah membuka pintu balkon. "Apa ini alasan Ola memilih apartemen di sini?"

"Iya," sahut Lena menghampiri Indra.

Mereka membiarkan Dana berpikir sejenak sebelum memutuskan ke mana lagi. Dana berusaha mengingat kembali tempat-tempat yang suka didatangi Ola. Ia berjalan bolak-balik sembari mengacak rambut frustasi

"Cari makan, yuk!" ajak Lena yang bisa mendengarkan suara perutnya. Ia baru sadar, sedari tadi pagi hanya makan buah dan juga roti.

Terlalu malam untuk disebut makan malam. Tapi mau gimana lagi. Cacing di perut Lena butuh makanan.

"Iya."

Dana mengangguk. Membiarkan mereka menentukan makan di mana. Pikirannya sekarang bertanya tentang keberadaan Ola.

"Len, kamu makan di pinggir jalan nggak apa-apa?" tanya Indra melirik Lena dari spion.

"Nggak masalah. Emang mau makan di mana?" tanya Lena balik.

"Ntar kamu juga tahu," jawab Indra santai.

Lena terdiam. Ia melihat jalanan yang penuh dengan aneka macam kendaraan. Malam semakin larut, pikiran Lena tertuju pada kawan karibnya. Entah di mana keberadaannya saat ini. Lena berharap ia baik-baik saja.

Akhirnya mereka sampai pada sebuah tempat yang menjual menu sambelan.  Dana memandang Indra tak percaya. Ia sering makan di sini bersama Ola.

"Kenapa di sini?" gerutu Lena. "Nggak ada tempat yang lain?"

Indra tertawa. Ia sangat suka makan di sini. Nasi sambelnya sudah sangat terkenal. Padahal lauknya cuma telor, tempe dan ikan pe panggangan. Ditambah lalapan terong yang menggugah selera. Tapi, jangan meremehkannya.

"Kamu nggak tahu ya, kalau Dana sering ngajak Ola makan di sini?" tanya Indra berbisik pada Lena.

"Serius?"

Indra mengangguk. Warung ini adalah salah satu tempat makan favorit Dana dan juga Ola. Barang kali saja, Ola sedang makan di sini.

"Ya udah, kalian pesan aja. Aku mau cari tempat duduk dan pesan minuman."

Lena berkata sembari menoleh ke kanan dan kiri yang penuh dengan manusia. Ia tak habis pikir, sambelan di pinggir jalan bisa seramai ini.

Warung Mak Yeye berada di pinggir Jalan Jagir Wonokromo Wetan, Surabaya, Jawa Timur. Tepatnya  berada di depan Toko Alat Elektronik Pendowo, sebelah utara Gedung Darmo Trade Center (DTC), bekas Pasar Tradisional Wonokromo.

Meski hanya lapak sederhana, Sego Sambel Iwak Pe Mak Yeye menjadi primadona di Kota Pahlawan. Bahkan, bisa dibilang sudah menjadi ikon makanan khas tengah malam warung kaki lima. Yang memang buka pada pukul 22.00-04.00 WIB.

Bisa makan di sini tentunya penuh perjuangan. Apalagi, pesan es tehnya beda warung. Untung saja Lena mendapatkan tempat. Bisa-bisa, mereka makan sambil berdiri. Atau parahnya makan di dalam mobil.

"Akhirnya kalian datang juga!" seru Lena kegirangan.

Indra langsung menaruh piring di hadapan Lena. Tanpa memedulikan para lelaki, Lena dengan lahap memakannya.

Setelah makan, mereka jalan menuju mobil yang terparkir di ujung jalan. Indra jalan dahulu, disusul Lena. Sedangkan Dana berjalan paling akhir. Terlihat jelas ia sedang memikirkan sesuatu.

"Seandainya kamu jadi Ola, ke mana kamu akan pergi?" tanya Dana menghentikan langkah Lena.

Lena berpikir sejenak. "Ke gunung mungkin. Karena bagi Ola, gunung adalah pelipur lara."

Dana terdiam memikirkan perkataan Lena. Ia tahu sekali Ola menyukai alam. Tetapi, apa dia berani pergi sendirian?

"Kalau kamu berpikir Ola akan pergi ke sana, lupakan itu. Karena perlengkapan kemah Ola ada di rumah," ujar Lena membuyarkan pikiran Dana.

"Lalu dia ke mana?" tanya Dana frustasi.

Lena mengedikkan bahu. Ia juga tak tahu keberadaan Ola. Akan tetapi Lena teringat akan suatu tempat.

"Mending kita pulang saja. Besok cari lagi," saran Indra mendapat anggukan dari Lena. "Atau kalau nggak, kamu suruh orang untuk cari keberadaan Ola."

Dana membuang napas dalam. Mengikuti mereka berdua dengan diam. Sesampainya di rumah, Dana berpikir kembali. Mengingat setiap kenangan bersama Ola, hatinya terasa sakit.

Ola, di mana kamu?

****

Misteri Kebaya PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang