19. Meyakinkan Ola

692 58 3
                                    

Dana menghela napas dalam. Ia tersenyum senang melihat gadis di hadapannya. Butuh perjuangan untuk menemui pujaan hatinya. Bahkan, ia sama sekali menghiraukan penampilannya.

Masih jelas di ingatan Dana kala itu. Waktu Indra berteriak mendapatkan pesan singkat dari Lena.

"Ada apa?"

Aku bertanya sengit. Baru sepuluh menit lalu Indra pamit untuk ke kamar mandi. Dan sekarang, lelaki tersebut menatapku dengan binar bahagia.

"Kamu akan senang mendengar kabar bahagia ini!" ujar Indra dengan senang hati.

"Masa bodoh. Selama itu bukan kabar dari Ola, aku tak mau tahu."

Indra tersenyum sinis. "Yakin nggak mau tahu?"

Aku melihat keanehan pada diri Indra. Tak biasa lelaki tersebut berperilaku seperti itu.

"Okey. Ada apa?" tanyaku pada akhirnya.

"Lena SMS."

"Lalu?" tanyaku tak bersemangat. "Dia bilang pulang kapan?"

"Bukan itu."

"Terus apa?" geramku.

Bukannya langsung menjawab, Indra mengedipkan sebelah matanya. Aku yang melihat itu bergidik ngeri. Berharap Indra tidak kemasukan jin kamar mandi.

"Lena mengirim pesan untuk membawamu ke suatu tempat," ujar Indra misterius.

"Ke mana?"

"Ada deh. Yuk, ikut!"

Aku menggeleng. Lebih suka bila itu berita tentang Ola. Karena bagaimanapun caranya, aku harus menemukan Ola.

"Kenapa?"

"Aku masih menunggu ..."

"Kabar Ola?" potong Indra. "Sudah ikut aja."

Aku menolak. Akan tetapi hanya sebentar sebelum membaca pesan dari Lena. Dengan sigap, aku merebut handphone Indra. Membaca sekali lagi barisan tulisan yang muncul pada layar tersebut.

"Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?" tanyaku kesal. "Ayo, berangkat!"

Indra menatap tak percaya. Tadi diajak tidak mau. Eh, sekarang malah pergi duluan, gerutu Indra.

Dan di sinilah Dana. Menatap kekasihnya yang sudah menghilang sangat lama. Bagi Dana, sehari tak bertemu rasanya setahun. Jadi jangan salahkan ia memandang Ola dengan penuh kerinduan.

Ola merasa risih ditatap seperti itu. Ia memilih berjalan keluar, menikmati udara malam dan juga bintang-bintang yang terlihat memenuhi langit malam. Berharap, lelaki tersebut tak mengikutinya. Tapi sayang, Ola lupa kalau Dana keras kepala.

"Jadi, selama ini kamu di sini?" tanya Dana memecahkan keheningan di antara mereka.

"Menurutmu?"

Ola bertanya balik. Jujur saja ia sangat risih berduaan dengan Dana. Bukan karena tampilan Dana yang terlihat memalukan. Namun, jantungnya yang memacu cepat. Ola benci itu. Karena setiap berdekatan dengan Dana, kinerja jantungnya perlu diperiksakan ke dokter.

Ola sangat mengakui kegantengan Dana. Walaupun saat ini Dana hanya memakai celana jins yang dipadukan sweater, terlihat sangat memesona. Belum lagi janggut yang menghiasi rahang kokoh Dana. Memberi kesan macho. Tak dipungkiri, Ola sangat merindukan lelaki di sampingnya.

"Maaf ..."

"Buat apa kamu minta maaf?" sela Ola. "Apa ada yang salah?"

"Kita nggak seharusnya bertengkar, Ola. Bentar lagi kita akan menikah."

Ola berhenti melangkahkan kakinya. Ia melirik tajam Dana. Tak menyangka indra pendengarannya mendengar kalimat tersebut. Bertengkar katanya. Ola tersenyum kecut.

"Kita bisa bicara baik-baik ..."

"Kita?" potong Ola sembari menghadap Dana. "Kamu dan masa lalumu?"

Dana menggeleng. "Aku dan kamu, Ola."

"Selama ada dia ..."

"Dia sudah meninggal, Ola!" sergah Dana dengan nada tinggi. "Kenapa kamu selalu mengungkit tentangnya?!"

"Karena dia ada di hatimu, Dana!" sahut Ola dengan nada tinggi. "Selamanya akan begitu."

Dana tak percaya mendengar perkataan Ola. Ia memandang Ola dengan tajam. Berharap gadis itu mengerti apa yang ia rasakan. Bukan menyimpulkan secara sepihak seperti ini.

"Kamu ..."

"Kamu nggak tahu perasaanku, Dana!" Ola menyela ucapan Dana. "Yang kamu tahu hanya menyakitiku!"

Dana mengacak rambut frustasi. Ia bingung harus berkata apa lagi. Hanya dapat satu ide yang terbesit dalam pikirannya. Sebelum Ola berbicara kembali, Dana menempelkan bibirnya ke bibir Ola.

Ola melotot sempurna. Ia mendorong tubuh Dana. Berharap bisa melepaskan ciuman tersebut. Akan tetapi, Dana menahannya. Tubuh Ola menegang seketika. Dana pun memperdalam kecupannya.

Gadis tersebut menggeleng. Berharap ciuman itu terlepas. Ia tak ingin terlena oleh permainan bibir Dana.  Mendapatkan penolakan dari Ola, Dana menghentikan kecupannya.

"Kamu milikku, Ola. Selamanya."

Ola menggeleng lemah. Ia masih mengatur udara yang masuk ke paru-parunya. Matanya terpejam. Menyesali apa yang baru terjadi.

"Semuanya sudah berakhir, Dana."

"Tidak, Ola! Nggak akan pernah berakhir."

"Aku ingin kita mengakhiri semua ini, Dana. Lepaskan aku."

Dana menggeleng. Seumur hidupnya, ia tak akan pergi meninggalkan Ola. Karena Ola segalanya. Dana tak bisa hidup tanpa Ola.

"Aku mohon, Dana. Biarkan aku pergi."

"Kamu nggak akan pergi, Ola. Tidak pernah!"

Ola tersenyum kecut. Semua sudah berakhir, bukan.

"Aku mencintaimu, Ola. Sangat mencintaimu."

Dana berkata sembari memegang erat kedua tangan Ola. Ia sangat takut kehilangan Ola. Cukup sekali Ola pergi dari hidupnya.

"Terlambat, Dana."

Ola berkata lirih. Ia menundukkan kepalanya. Tak ingin Dana melihat air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Tidak ada kata terlambat, Ola. Karena aku tahu, kamu masih mencintaiku."

Ola tertawa sumbang. "Apa yang kamu ketahui tentang cinta, Dana? Kalau kamu benar mencintaiku, kamu nggak akan melukaiku! Namun apa ... kamu malah menyakitiku, Dana!"

"Bukan bagitu ..."

"Cukup, Dana!" sela Ola sembari menghempaskan genggaman Dana.

"Tidak, Ola!" tolak Dana. "Apa pun yang kamu minta, akan aku kabulkan. Asal jangan menyuruhku untuk pergi."

"Kenapa?"

"Karena aku mencintaimu, Ola. Hanya ada kamu di hatiku. Bukan dia. Karena kamu berbeda dengan dia, Ola." Dana menjawab dengan tegas. "Kamu mampu menghancurkan dinding masa lalu dalam hidupku, Ola. Dan aku berharap kamu menjadi masa depanku."

Ola terisak. Ia memundurkan langkahnya. Namun, dengan sigap Dana menarik tubuhnya. Mendekap Ola dengan erat. Walaupun berulang kali Ola memberontak ingin lepas. Akan tetapi, Dana semakin kencang  memeluknya.

"Kamu jahat, Dana."

****

Misteri Kebaya PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang