20. Kesepakatan

770 69 2
                                    

Dana meneguk susah ludahnya. Ia tak menyangka mendapatkan syarat seperti itu. Ingin rasanya Dana menolak. Akan tetapi, melihat raut wajah Ola ... ia tak sanggup. Apalagi dengan ancaman yang membuat Dana mati kutu.

"Serius? Nggak ada yang lain?" tanya Dana kesekian kali.

Ola menggeleng. Ia sudah yakin dengan semua ini. Walaupun sedikit hatinya ragu. Akan tetapi, entah mengapa ia ingin membongkar semuanya.

"Tapi ini terlalu berbahaya, Ola. Aku nggak setuju!" ujar Lena mendapat anggukan dari Dana.

"Ya ampun, apa kalian nggak percaya padaku?" tanya Ola sangsi.

"Bukan nggak percaya. Tetapi, resikonya besar, loh. Ini menyangkut nyawamu, Ola."

Indra menjawab dengan tegas. Ia menggeleng saat mendengar Ola mengemukakan syaratnya. Belum lagi raut wajah linglung sahabatnya. Indra semakin tak percaya dengan jalan pikiran Ola.

"Hanya ini salah satunya cara mengetahui kematiannya," ujar Ola yang masih tetap pada pendiriannya.

"Nggak ada cara lain?"

"Nggak ada, Dana. Kalau kamu ngga mau, ya udah. Nggak usah menikah saja."

Dana terpaku. "Kamu bercanda, 'kan?"

"Siapa yang bercanda? Kamu sendiri yang bilang akan menuruti semua permintaanku, bukan?"

Dana menyesal telah berkata seperti. Ia masih belum percaya dengan syarat yang dilontarkan Ola. Setelah bersusah payah ia meyakinkan Ola. Kini mendapatkan sebuah permintaan yang membuatnya tambah frustasi.

Belum genap dua puluh empat jam Dana berhasil membujuk Ola untuk tetap di sisinya, masalah lain timbul karena ucapannya. Ia tak menyangka Ola menginginkan itu. Padahal, dirinya sendiri tak pernah berpikiran hal tersebut.

"Tapi, tunggu. Dari mana kamu tahu ini semua?" tanya Lena setelah keheningan beberapa saat.

"Saat aku memutuskan pergi. Aku tahu semuanya. Siapa dalang dari ini semua," jawab Ola lirih.

"Lalu, kenapa kamu pergi?"

"Karena aku nggak sanggup, Dra. Semua terasa mimpi. Apalagi mendengar semua kenyataan itu."

Ola menerawang kembali semua masalah yang telah ia lalui. Awalnya, ia menolak segala bukti tersebut. Akan tetapi, kali ini Ola menginginkan kebenaran itu. Dan inilah caranya.

"Tapi bukan berarti mengorbankan mu, 'kan?" tanya Dana frustasi.

"Ini salah satunya jalan, Dana. Kalau memang aku bernasib sama, berarti itulah sebenarnya yang menimpa dirinya."

"Aku nggak mau itu semua terjadi, Ola!" sahut Dana dengan nada tinggi. "Persetan dengan semua kebenarannya. Aku nggak mau tahu!"

"Bukankah kamu sudah berjanji, Dana?"

Dana memukul dinding kesal. Ia memaki dirinya sendiri yang begitu bodoh. Tapi mau bagaimana lagi, ini kesalahannya.

Masih jelas dalam ingatanku. Pagi  tadi aku terbangun dengan seseorang yang masih terlelap di sampingku. Aku memandang wajah Ola yang tampak nyenyak. Tak memperdulikan sinar mentari masuk menerobos jendela.

Aku tersenyum senang. Semalam aku berhasil mendapatkan Ola kembali. Tak peduli apapun yang Ola minta. Aku siap memberikannya. Itulah janjiku pada Ola. 

Ola menggeliat. Ia membuka matanya. Terasa menyilaukan. Senyumanku pertama kali yang ia lihat.

"Selamat pagi," ujar Ola dengan suara serak.

"Pagi, Sayang. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"

Ola mengangguk. Ia memelih memeluk tubuhku kembali. Udara di sini sangatlah dingin. Walaupun sudah pagi.

Kami berada di sebuah rumah pohon. Semalam, Ola tak ingin pulang ke rumah. Ia mengajakku pergi ke rumah pohon yang memasuki area hutan. Untung di sana Ola telah menaruh persediaan makanan.

Di tempat ini, Ola selalu merasa tenang. Jauh dari pemukiman dan polusi. Rumah pohon ini sengaja Ola bangun saat ia membutuhkan waktu untuk sendiri. Lena saja tak mengetahuinya. Pasti pagi ini Lena akan mencarinya.

"Lena tahu tempat ini?" tanyaku melihat seluruh ruangan.

Sebuah ruangan yang sangat kecil. Hanya muat satu kasur lantai yang penuh dengan bantal dan guling. Sedangkan di setiap sisi, terdapat sebuah tempat untuk menaruh barang. Sedangkan di depanku, ada jendela yang sangat besar. Aku tak menyangka Ola mendirikan rumah ini. Untuk ke kamar mandinya, tak jauh dari sini. Hanya saja, aku harus menuruni anak tangga.

"Lena nggak tahu. Yang tahu cuma Bibik aja."

Aku memanggut-anggut mendengar jawaban Ola. "Makasih sudah menerimaku kembali."

"Tidak gratis, loh!"

Aku tertawa. "Iya. Kamu minta apa, sih?"

"Aku minta memakai kebaya itu, Dana. Karena ada sebuah misteri yang harus aku ungkap."

Ola berkata seolah semuanya akan baik-baik saja. Namun, tidak bagiku. Melihatnya memakai kebaya itu, sama saja membunuh Ola. Aku tak mau Ola bernasib sama seperti dia.

"Tapi, Ola ..."

"Kamu sudah berjanji, Dana. Dan itu yang aku inginkan."

Aku membuang napas frustasi. Aku harus memikirkan segala cara agar Ola membatalkan niatannya tersebut.

"Kita pulang dulu, yuk. Kasihan mereka harus mencari kita."

Ola menginkuti kemauanku untuk pulang ke rumah. Ola tahu ini hanya alasanku untuk mengulur waktu. Karena sampai kapanpun, aku tak akan setuju ia memakai kebaya itu.

Dan di sinilah mereka. Dana sengaja mengumpulkan Lena dan juga Indra untuk menghentikan langkah Ola. Akan tetapi, semua sia-sia. Sebab dirinya sudah berjanji. Tak pantang baginya untuk mengingkari.

"Mau bagaimana lagi. Aku setuju. Dengan syarat, kamu didampingi Lena."

Ola mengiyakan. Ia sudah menyusun sebuah rencana untuk itu semua. Mungkin, ini yang bisa dilakukannya untuk Cia. Berkat gadis itu, Ola menemukan cintanya pada Dana.

Cia, semoga kamu tenang dengan terbongkarnya semua ini.

****

Misteri Kebaya PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang